Kejadian itu terjadi di SD Negeri 2 Suandala, Buton, Sulawesi Tenggara pada 19 Januari 2013. Armin merupakan wali kelas IV yang mengajar mata pelajaran Matematika, IPS dan Bahasa Indonesia.
"Asri bermain di bangku. Saya tegur, tapi Asri tidak menghiraukan. Saya lalu suruh Asri maju ke papan tulis untuk mengerjakan soal," ujar Armin sebagaimana tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Pasarwaja yang dilansir website Mahkamah Agung (MA), Rabu (25/2/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya pegang rahang kiri korban sambil mengangkatnya," aku Armin yang diangkat sebagai guru PNS sejak 2007.
Armin mengaku tidak melihat darah keluar dari hidung korban saat itu. Setelah itu, Asri tidak hadir ke SD selama 10 hari. Armin tahu-tahu mendengar Asri meninggal dunia. Selidik punya selidik, kematian itu karena penyiksaan Armin itu. Asri mengalami pendarahan di pangkal hidungnya.
"Saya dilarang Kepala Sekolah melayat karena mungkin orang tua Asri masih marah," tutur Armin.
Atas kematian Asri, Armin lalu dilaporkan ke polisi. Tidak berapa lama, Armin dihadapkan ke meja hijau. Di hadapan majelis hakim, Armin mengaku kerap memukul anak didiknya. Dia juga mengaku menjambak rambut Asri tiga hari sebelum kejadian mematikan itu.
"Tetapi itu semua dalam kaitan denganpembinaan dan pembelajaran," ucap Armin yang memulai karier sebagai guru honorer itu.
Kepada majelis hakim, Armin mengakui semua perbuatannya. Ia mengaku menyesal telah melakukan perbuatan yang menyebabkan muridnya meninggal dunia itu.
"Menyatakan terdakwa Armin secara sah dan meyakinkan melakukan penganiayaan terhadap anak yang mengakibatkan meninggal dunia. Menjatuhkan hukuman selama 2 tahun dan 6 bulan penjara," putus majelis yang terdiri dari Wahyu Iman Santoso, Allannis Cendana dan Abdul Hakim Pasaribu
(asp/try)