"Anak istri saya hanya tahu saya pernah ke Timor Timur. Soal di sana saya jadi sniper, tidak tahu," katanya saat berbincang dengan detikcom di Jalan Lombok, Rabu (25/2/2015).
Menurutnya keluarga mengetahuinya belum lama ini, setelah muncul buku 'Sniper Training, Techniques and Weapons' karya Peter Brokersmith yang terbit pada 2000. "Itu juga mereka enggak tahu semuanya, sekarang saja saya ini banyak cerita ke media, jadi mereka tahu," ujar Tatang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada saat awal-awal kepulangannya dari Timor Leste, Tatang mengaku khawatir identitasnya terungkap, ada pihak yang dendam padanya. "Kalau sekarang kan sudah 25 tahun lebih, ya mungkin tidak apa-apa," ujar Tatang.
Usia Tatang memang sudah tidak muda lagi. Namun ia mengingat detail bagaimana saat ia bertempur dulu. Saat ia harus masuk ke benteng pertahanan musuh seorang diri, untuk mengacaukan kondisi musuh. "Wilayah kekuasan sniper itu bukan di belakang pasukan atau bersama pasukan, tapi harus berada di wilayah musuh," tutur Tatang.
Tatang masuk tentara melalui jalur tamtama di Banten pada 1966. Kala itu sebetulnya dia cuma mengantar sang adik, Dadang, yang ingin menjadi tentara. Tapi karena saat di lokasi pendaftaran banyak yang menyarankan agar dirinya ikut, dia pun mendaftar. Saat tes, ternyata cuma dia yang lulus.
Meski punya ijazah Sekolah Teknik (setara SMP), Tatang melamar sebagai prajurit tamtama menggunakan ijazah SR (Sekolah Rakyat) atau Sekolah Dasar. Selang beberapa tahun ia mengikuti penyesuaian pangkat sesuai ijazah yang dimiliknya itu. Sebagai bintara, ia ditempatkan di Pusat Kesenjataan Infantri (Pusenif). Di sana pula ia mendapatkan mengikuti berbagai pelatihan, mulai kualifikasi raider hingga sniper.
(ern/mad)