Budi Gunawan awalnya dicalonkan sebagai Kapolri oleh Jokowi. Ketika dia akan mengikuti fit and proper test di DPR, dia ditetapkan sebagai tersangka kasus rekening gendut oleh KPK.
Meski begitu, uji kepatutan terhadap Komjen Budi tetap berjalan. Hasilnya, dia mengantongi persetujuan DPR. Namun Jokowi akhirnya menunda pelantikan Komjen Budi karena status tersangka tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tak ada prosedur tata negara yang dilanggar jika Presiden membatalkan itu," kata pakar hukum tata negara Refly Harun dalam perbincangan, Rabu (28/1/2015).
Refly mengatakan, dalam UU no 2 Tahun 2002 Tentang Polri, disebutkan calon Kapolri yang diajukan Presiden dan disetujui oleh DPR, dapat dilantik oleh Presiden. Namun dalam kondisi khusus, seperti sekarang ini, Presiden bisa saja dengan kewenangannya membatalkan pencalonan itu.
"UU itu kan hanya mengatur kondisi normal. Ini kondisinya ada kekosongan. Untuk tidak melantik karena dengan alasan sebagai tersangka, memang tidak diatur secara spesifik dalam UU Kepolisian. Tapi kita angkat ke arah konstitusi bahwa Presiden memegang mandat kekuasaan. Jadi Presiden bisa kembali ke prosedur awal, mengajukan nama baru," ujar Refly.
Kemudian terkait nama baru yang diajukan Presiden itu, kata Refly, DPR harus menindaklanjuti usulan Presiden tersebut dalam waktu maksimal 20 hari. Tenggat waktu 20 hari itu dapat digunakan oleh DPR untuk melakukan fit and proper test calon kapolri.
"Kalau DPR setuju maka dilantik, kalau tidak setuju maka status quo," ujar Refly.
Dia menjelaskan, dalam kasus Komjen Budi Gunawan ini, jika yang terjadi adalah status quo, maka Kapolri masih tetap kosong. Tugas Kapolri tetap dilaksanakan oleh wakapolri. "Lalu sampai kapan? Ya terserah Presiden," tuturnya.
Sementara, kata Refly, jika selama 20 hari itu DPR tidak memberikan jawaban, maka hal itu dapat dianggap sebagai persetujuan. Presiden dapat langsung melantik calon Kapolri baru.
(fjr/nrl)