Jabatan itu sekaligus menjadi simbol perjuangan dan perlawanan atas dominasi adat di Papua, yang umumnya didominasi laki-laki.
βIsu utama di sana (Papua dan Maluku) adalah kekerasan dalam rumah tangga, akibat adat istiadat yang keras,β katanya saat ditemui majalah detik, Kamis (22/1/2015) lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada instruksi khusus dari Presiden terkait persoalan perempuan dan perlindungan anak?
Tidak secara langsung, tapi mungkin karena saya berlatar belakang guru, yang biasanya ada naluri edukatifnya. Saya sudah membuat suatu terobosan, sebuah pemberdayaan perempuan di Papua.
Presiden secara implisit berharap kepakaran saya bisa menjawab persoalan perempuan dan anak. Saya agak shock. Setelah ditunjuk, saya mau tidak mau menerima jabatan ini dan saya harus percaya diri. Ini merupakan tantangan bagi saya.
Secara umum, bagaimana Anda melihat kondisi perlindungan perempuan Indonesia?
Di negara kita, yang masih developing country, memang masih banyak masalah berhubungan dengan pendidikan dan kesehatan. Kita masih harus bekerja keras. Angka kematian ibu masih tinggi. Pendidikan sudah relatif maju tapi pemerataannya yang relatif masih perlu diperhatikan. Karena secara geografis sangat luas. Masih banyak yang harus dikerjakan.
Peta kekerasan terhadap perempuan?
Saya belum lihat semua daerah. Saya baru melihat Indonesia timur, terutama Papua dan Maluku. Isu utama di sana adalah kekerasan dalam rumah tangga. Asumsi saya itu berangkat dari adat istiadat yang begitu keras. Ini masih harus dikaji lagi lewat beberapa penelitian, apakah betul KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) itu karena budaya.
Di Papua ada sekitar 250 budaya yang masing-masing tradisi melihat perempuan dan anak berbeda. Agama di sana, yakni Kristen, menyebutkan istri harus tunduk kepada suami.
Di daerah Pegunungan Jayawijaya, perempuan Suku Dani punya bakat berdagang. Mereka berjualan di pasar sambil merajut noken. Uangnya dipakai untuk biaya sekolah atau kuliah anak-anak. Begitu juga suku di pantai. Suami hanya di rumah, istri yang mencari duit.
Sejauh mana peran aparat penegak hukum dalam menangani kekerasan itu?
Sudah ada unit-unit pengaduan terpadu di semua provinsi. Sudah berjalan tapi saya lihat belum optimal. Undang-undang tentang kekerasan terhadap perempuan sudah ada. Tinggal bagaimana kami sosialisasikan. Itu tugas kami dari Kementerian.
Angka kekerasan tiap tahun semakin naik karena undang-undang ini semakin terlihat. Masyarakat sudah semakin sadar ada undang-undang, makanya laporan naik terus. Cuma, ya, pihak kepolisian harus kita dekati juga agar mau melayani korban. Jangan ada diskriminasi. Saya sudah pikir-pikir suatu saat nanti akan ada penghargaan kepada polisi yang melayani dengan baik.
Laporan kekerasan terhadap anak juga meningkat?
Saya melihat perkembangan teknologi, di mana-mana penggunaan HP, Internet, membawa pikiran mereka keluar dari pendidikan yang diinginkan oleh orang tua dan negara ini. Sudah banyak keluhan. Situs-situs yang mereka buka seperti pornografi. Kita punya tugas merevisi aturan sesuai dengan perkembangan kasus-kasus yang terjadi.
Anak-anak ini juga banyak mengalami kekerasan karena banyak pernikahan usia dini. Menikah terlalu muda, punya anak, akhirnya tidak diperhatikan. Jadi korban trafficking atau pergi ke luar negeri secara ilegal. Jadi complicated.
Karena itu Ibu mewacanakan meningkatkan usia pernikahan?
Undang-undang sementara ini (menyebutkan batas usia pernikahan) 16 tahun. Kami mau naikkan jadi 18 tahun. Tetapi secara internasional usia pernikahan itu 22 tahun. Kalau batas usia pernikahan bisa naik, kita sudah selamatkan anak-anak kita. Karena, di masa depan, mereka akan menghadapi daya saing yang begitu ketat.
Ada pihak yang tidak setuju?
Ada kelompok yang menentang itu. Tapi biarlah waktu yang menjawab. Kita tetap melakukan advokasi dan pendekatan untuk mengubah mindset mereka. Ini memang bagian dari revolusi mental.
Kementerian mendapatkan Rp 217 miliar untuk APBNP 2015. Cukup untuk melaksanakan program-program perlindungan?
Saat bertemu dengan DPR, saya menyatakan anggaran kami kurang. Kementerian yang paling kecil adalah kami. Padahal DPR teriak kekerasan di sana, kekerasan di sini, atas perempuan dan anak itu dalam kondisi darurat. Kalau kondisi darurat begitu dengan dana sedikit, bagaimana mau tangani kondisi darurat? Ini hanya untuk advokasi dan koordinasi saja. Belum implementasinya. Jadi saya minta buat komitmen untuk bisa meningkatkan anggaran.
Perhitungannya berapa anggaran yang dibutuhkan?
Kalau kondisi darurat seperti yang dikatakan DPR kemarin kira-kira dibutuhkan Rp 1-2 triliun untuk bisa menjawab persoalan itu.
Anggaran yang terbatas itu dipakai untuk apa saja?
Sudah dibagi-bagi. Dana dekonsentrasi yang diberikan ke provinsi-provinsi sekitar Rp 10 miliar untuk pemberdayaan perempuan dan Rp 10 miliar untuk perlindungan anak. Lalu untuk fungsi masing-masing deputi.
Soal kebijakan afirmasi untuk keterwakilan perempuan masih diperlukan?
Ini salah satu bagian dari program kami. Fokusnya untuk pembangunan kapasitas, termasuk untuk menyiapkan calon-calon perempuan masuk legislatif dan eksekutif. Untuk legislatif ketentuannya 30 persen, tapi hasil Pemilu 2014 justru cuma 17 persen, di provinsi 16 persen, di kabupaten dan kota sekitar 10 persen. Syukur, Presiden memilih 8 perempuan sebagai menteri. Itu sudah 23 persen dan menurut saya masih kurang.
Apa yang menyebabkan masih di bawah kuota?
Saya pikir karena hambatan budaya masih kelihatan. Laki-laki belum sadar bahwa perempuan bisa jadi pengambil keputusan. Di sisi sosial, kesetaraan dan keadilan gender belum ada. Kita dalam male dominated society, bahwa laki-laki memiliki peranan lebih tinggi.
Padahal, secara kualitas, perempuan dan laki-laki itu sama. Tuhan menciptakan kita sama, sama-sama berharga di mata Tuhan. Saya pikir dari Kristen, Islam, dan agama lain pun sama. Hanya masalah peluang. Kalau kita dikasih peluang yang sama, saya pikir no problem.
*) Artikel sudah dimuat di Majalah Detik edisi 165, 26 Januari - 1 Februari 2015
(nwk/nwk)