Jarum jam menunjukan angka sembilan, ratusan petugas satpol PP berbekal palu dan linggis masuk ke kolong Jembatan Kampung Melayu bersamaan awan hitam dan rintikan air hujan. Saat itu Mariani (35) tengah asik menggoreng lauk-pauk untuk dagangannya.
"Kemarin bilangnya nggak langsung digusur katanya baru peringatan aja, eh taunya pagi tadi malah langsung diangkut," kisah warga Semarang itu pasca penggusuran di kolong Jembatan Kampung Melayu, Jakarta Timur, Kamis (22/1/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya akhirnya nasi yang saya masak pada kebuang, jadi mubazir. Saya langsung teriak minta suami saya buat ngamanin barang-barang di rumah," tuturnya.
Ini kali pertama Mariani dan suaminya merasakan pahit getir penggusuran di Ibukota. Ia mengaku baru tinggal selama satu tahun di bawah kolong jembatan.
"Saya ke sini diajak sama kakak saya, sekarang ke Jakarta mau nyari tempat tinggal di mana? Semuanya serba mahal. Lagipula memang rezeki saya juga di sini," tuturnya.
Lain halnya dengan Solihin (45), pria beranak dua itu berprofesi sebagai pemulung. Kesehariannya mencari barang bekas di sekitar Jakarta Timur, menjadikan kolong jembatan sebagai tempat singgah.
"Ya di sini cuma kalau abis keliling, balik ke sini untuk istirahat, paginya langsung nyari sampah lagi," ujar pria kelahiran Brebes itu.
Selama ini, mereka tinggal tidak pernah dipungut biaya. Adapun uang Rp 50 ribu untuk membayar listrik. "Listriknya nyambung dari atas, setiap bulan selalu bayar. Ya kalau begini sekarang tidak tahu lagi mau kemana saya, cuma bisa pasrah," imbuh Solihin.
Penertiban di kolong jembatan Kampung Melayu itu dipimpin oleh Walikota Jakarta Timur Bambang Musyawardhana. Di mata Bambang, keberadaan permukiman tersebut ilegal.
"Mereka itu liar, mayoritas dari luar DKI Jakarta. Hasil pendataan Camat Jatinegara, setidaknya ada 250 jiwa atau sekitar 80 KK. Mereka nanti akan kita pulangkan ke kampung halamannya," tegas Bambang.
(edo/vid)