Peristiwa yang menghebohkan dunia ini terjadi di tanggal yang hampir mirip. Peristiwa pendaratan darurat pesawat US Airways 1549 di Sungai Hudson terjadi pada 15 Januari 2009. Sementara Garuda Indonesia GA421 terjadi 13 tahun lalu, yakni 16 Januari 2002.
Sullenberger maupun Abdul Rozaq sama-sama mendapatkan pujian dari dunia. Keduanya akhirnya menulis kisah pendaratan fenomenal itu di buku. Sullenberger menulis buku autobiografi dan cerita pendaratan pesawat berjudul 'Highest Duty', sedangkan Abdul Rozaq menceritakan pengalamannya di buku berjudul 'Miracle of Flight'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pesawat tersebut bertolak dari Bandara LaGuardia pada Kamis, 15 Januari 2009 pukul 15.26 waktu setempat menuju Charlotte, North Carolina. Pesawat baru saja mengudara selama tiga menit ketika gangguan itu terjadi.
Apa yang dilakukan sang pilot disebut-sebut sebagai keberhasilan 'pendaratan di atas air sesuai buku panduan'. Ketika mesin pesawat mengalami masalah, pilot dengan tenang menurunkan pesawat ke sungai dengan ekor pesawat lebih dulu menyentuh air.
Kemudian dengan pesawat mengapung di atas air, 150 penumpang dan 4 kru serta sang pilot keluar dari pesawat dan berdiri di atas sayap. Kapal-kapal bantuan datang dengan cepat sehingga seluruh penumpang dan kru berhasil dievakuasi dengan selamat sebelum pesawat akhirnya benar-benar tenggelam.
"Tampaknya pilot melakukan pekerjaan yang bagus sekali dengan mendaratkan pesawat di atas sungai, dan kemudian memastikan semua orang keluar," puji Walikota New York Michael Bloomberg.
Sejumlah pejabat aviasi internasional menyebut ini pertama kalinya pesawat komersial berhasil melakukan pendaratan di atas air. Pilot British Airways Eric Moody menuturkan, pendaratan tersebut merupakan pendaratan di atas air sesuai buku panduan. "Siapapun yang menerbangkan pesawat itu telah melakukan pekerjaan yang sangat bagus," pujinya.
Pendaratan di atas air (ditching) merupakan pendaratan darurat di perairan. Ini kadang-kadang terjadi pada pesawat militer dan pesawat yang lebih kecil. Namun sangat jarang terjadi pada pesawat penumpang komersial. Suhu udara di Sungai Hudson saat kejadian itu di bawah 6 derajat Celcius.
Sementara Abdul Rozaq membawa pesawat berjenis Boeing 737-300 dengan nomor registrasi PK-GWA. Dia berangkat dari Ampenan-Mataram pukul 16.32 Wita dengan 54 penumpang dan 6 awak kabin ke Yogyakarta. Saat turun ke ketinggian 19 ribu kaki, pesawat memasuki formasi awan cumulonimbus (CB) tebal.
Akibatnya, pesawat mengalami turbulensi hebat karena di dalam awan itu terjadi hujan lebat dan hujan es. Banyaknya air dan es yang masuk dalam mesin ini menyebabkan kedua mesin pesawat kehilangan dayanya. Saat pilot dan kopilot berupaya menyalakan lagi mesin pesawat ketika di luar masih terjadi hujan lebat, namun gagal. Lantas, pilot memutuskan bahwa pesawat harus mendarat darurat.
Pendaratan darurat dilakukan secara ditching alias mendarat di air di Sungai Bengawan Solo, tepatnya di Desa Serenan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Satu pramugrari meninggal karena terlempar keluar pesawat, satu awak kabin dan 12 penumpang mengalami luka serius, dan penumpang sisanya plus pilot-kopilot dan 2 awak kabin tidak terluka. Demikian seperti dijelaskan dalam laporan final Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang dirilis di situsnya.
Terima kasih, pilot!
(mad/nrl)