Rani dkk yang memberikan kuasa hukum kepada Todung Mulya Lubis dkk. MK menolak pandangan Cesare Beccaria, seorang ahli hukum dan pemikir berkebangsaan Italia yang dituangkan dalam bukunya Dei delitti e delle pene (1764).
"Pandangan demikian juga menihilkan rasa keadilan pihak keluarga korban, sekaligus rasa keadilan masyarakat pada umumnya. Dengan tetap menghargai pendirian mereka yang menentang pidana mati sama sekali belum menjawab pertanyaan bagaimanakah memulihkan kepedihan hati dari suatu keluarga yang kehilangan salah seorang anggota keluarga yang dicintainya yang telah menjadi korban pembunuhan berencana, atau korban kejahatan genosida, atau korban kejahatan terorisme," putus majelis MK sebagaimana dikutip detikcom, Minggu (18/1/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Casera menyatakan 'Capital punishment was both inhumane and ineffective: an unacceptable weapon for a modern enlightened state to employ, and less effective than the certainty of imprisonment. Furthermore, that capital punishment was counter- productive if the purpose of law was to impart a moral conception of the duties of citizens to each other. For, if the state were to resort to killing in order to enforce its will, it would legitimize the very behaviour which the law sought to repress, namely the use of deadly force to settle disputes'.
"Oleh karena keadaan semacam itu dapat terjadi pada keluarga mana pun dalam suatu masyarakat, maka pertanyaan itu juga dapat dirumuskan menjadi, apa yang dapat dan harus dilakukan oleh hukum terhadap masyarakat," ujar MK.
Dengan berlindung di balik argumentasi restorative justice, yang semata- mata melihat pelaku kejahatan (yang diancam dengan pidana mati itu) sebagai 'orang sakit yang perlu disembuhkan', pandangan ini telah mengabaikan fakta bahwa setiap kejahatan β apakah ia termasuk dalam kategori mala in se atau mala prohibita β sesungguhnya adalah serangan terhadap harmoni sosial masyarakat. Yang berarti pula bahwa setiap kejahatan pasti menimbulkan βlukaβ berupa disharmoni sosial pada masyarakat. Makin tinggi kualitas kejahatan makin tinggi pula kualitas disharmoni sosial yang ditimbulkannya pada masyarakat.
"Sehingga, pertanyaannya kemudian adalah mungkinkah harmoni sosial dalam masyarakat dipulihkan hanya dengan merestorasi pelaku kejahatan yang menimbulkan disharmoni tersebut, sebagaimana yang diyakini oleh mereka yang menentang pidana mati?" kata MK dengan ketua Jimly Asshiddiqie.
Hukuman (pidana) yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, sambung MK, haruslah dilihat juga sebagai upaya untuk mengembalikan harmoni sosial yang terganggu akibat dari kejahatan itu. Keadilan baru dirasakan ada manakala harmoni sosial telah dipulihkan.
"Artinya, yang membutuhkan upaya-upaya restoratif sesungguhnya adalah masyarakat yang harmoni sosialnya terganggu oleh adanya kejahatan tadi. Dengan demikian, hukuman (pidana) adalah upaya untuk merestorasi disharmoni sosial itu," pungkas MK.
Hal ini senada dengan korban narkoba yang mendapat penderitaan lahir bathin. Seperti diceritakan keluarga korban, Deffi Rahayu.
"Saya kehilangan adik saya satu-satunya laki-laki saat beliau berumur 30 thn, masih muda dan meninggalkan istri dan anak berumur 5 tahun," kata Deffi mengawali cerita lewat surat elektronik kepada detikcom, Minggu (18/1/2015).
(asp/rvk)