Ketua Organda DKI Shafruhan Sinungan mengatakan, selama ini, tarif diberlakukan di bawah nominal yang ditetapkan pemerintah lewat SK Gubernur. Dia mencotohkan perhitungan tarif untuk angkutan taksi.
“Perhitungan tarif taksi, untuk buka pintu Rp 8.500 sesuai SK Gubernur, itu masih tarif politis, kalau tarif ekonomi harusnya Rp 13 ribu. Organda mengolah kembali, membuat tarif bawah Rp 7.500 supaya operator yang kecil bis survive. Nah kalau saya berdasarkan SK Gubernur, perlu turun nggak (tarifnya) kira-kira? Padahal biaya operasional, suku cadang, oli dan man power juga meningkat. Ini kan dilema,” kata Shafruhan saat berbincang, Jumat (16/1/2015) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia beralasan, dalam penyusunan tarif, komponen BBM hanya berpengaruh 20 persen, sisanya dipengaruhi oleh harga suku cadang. Sedangkan angkutan lain berbahan bakar premium seperti mikrolet, kemungkinan besar tarifnya tak bisa turun.
“Senin (19/1) pagi saya dan Organda akan rapat, akan kita kaji lebih dalam dampak penurunan BBM terhadap tarif. Karena angkot di Jakarta kebanyakan dikelola koperasi dan perorangan,” ujarnya.
Shafruhan secara tegas menyatakan angkutan yang pakai solar seperti bus kota, juga akan tetap pakai tarif lama. “Untuk bus kota, kita enggak mungkin bisa turunkan tarifnya, sulit. Komponen BBM juga relatif kecil pengaruhnya, hanya 17-20 persen. yang jadi problem kita sekarang adalah kenaikan sparepart, biaya operasional, inflasi, dan nilai tukar rupiah,” jelasnya.
Selain alasan itu, menurutnya, di lapangan ada beberapa bus kota yang belum menaikkan tarifnya saat beberapa waktu lalu pemprov DKI menyetujui ada kenaikan tarif angkutan.
“Yang non regular kayak bus Kopaja AC itu saat kenaikan kemarin sudah ditetapkan dari Rp 6.000 menjadi Rp 7.500. Tapi di lapangan, Kopaja itu belum menerapkan tarif yang ditetapkan pemprov DKI, masih Rp 6.000. Jadi saya nggak bicara (penurunan tarif) ini karena ada beberapa yang belum menyesuaikan tarifnya,” tutupnya.