Kapolri di Negeri Trembini
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Djoko Suud

Kapolri di Negeri Trembini

Rabu, 14 Jan 2015 17:43 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Calon Kapolri ditetapkan sebagai tersangka. Dia diindikasikan sebagai salah satu pemilik rekening gendut. Jauh sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menandai merah. Tapi Presiden Jokowi tetap mencalonkannya. Ada dalang di balik wayang?

Rekening gendut di jajaran Polri sudah lama jadi omongan. Hilir mudik tak tentu arah. Saling bantah bahwa itu ada dan tiada. Sampai gelombang rumor itu berubah menjadi alun. Pelan dan pasti, tenang, meredup, hingga akhirnya hilang dari percakapan.

Ada dan tiada itu kembali muncul, ketika petinggi Polri waktunya berganti. Calon yang akan didapuk untuk mengisi jabatan penting itu hanya satu. Calon ini tidak seperti biasanya yang dirujuk dulu ke KPK untuk melihat clean & clear-nya. Tapi langsung dilempar ke DPR untuk disetujui tidaknya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jalan tol itu ditempuh Jokowi, karena jika lewat jalan biasanya, sang calon akan mandeg di tengah jalan. KPK jauh-jauh hari telah memberi β€˜tanda cinta’, stabilo warna merah, bahwa yang bersangkutan jangan capek-capek ikut ngurus negara. Duduklah yang manis. Nikmati yang sudah bisa dinikmati.

Keanehan langkah Jokowi ini membuat publik bertanya-tanya. Kok tumben Wong Solo ini memakai jalur lain. Padahal jalur yang sudah dibuatnya lebih terpuji dan nyaman. Yaitu menyodorkan orang-orang yang akan membantunya di pemerintahan, diseleksi dan ditintingi terlebih dulu oleh KPK dan PPATK. Maka tudingan yang diarahkan ke Jokowi, hampir pasti, ada dalang yang mengangkat tinggi-tinggi Werkudoro. Padahal tokoh wayang ini tidak bisa terbang. Tetapi itulah takdir, jika nanti KPK bisa membuktikannya.

Urusan Kapolri, biarlah KPK dan pihak yang berkompeten memutusi. Tetapi kuasa yang tidak mulus itu biasanya tersandung dua persoalan. Satu harta, dan yang kedua wanita. Untuk wanita, ada yang mengakibatkan kejatuhan. Tetapi jangan lupa, ada pula yang justru menstimulasi kebangkitan.

Untuk yang membangkitkan ini, saya tiba-tiba teringat Negeri Trembini. Sebuah negeri dari dunia antah-berantah, yang raja dan rakyatnya semua perempuan. Negeri ini dimitoskan berada di Pulau Sempu yang terletak di Malang bagian Selatan, berbatasan dengan Blitar.

Jika ada laki-laki yang tertawan, dia akan dijadikan permata di kerajaan. Diberi busana yang indah untuk dipakai. Diperlakukan bak boneka mainan. Tujuannya menyenangkan hati ratu dan calon ratu yang ada di kerajaan ini.

Dalam rentang waktu panjang, tawanan itu punya kuasa. De jure dia tidak memerintah. Tetapi de facto, dialah yang berkuasa. Itu karena saat malam di peraduan, tawanan ini yang menginspirasi kebijakan sang ratu. Dengan politik lingga yang diyakininya ampuh, tawanan ini akhirnya diangkat menjadi senopati. Benteng sekaligus cem-ceman sang ratu.

Kendati itu mitos, kisah-kisah seperti ini banyak terjadi di jagad kuasa. Simak karya-karya Milan Kundera. Tiap kekuasaan tidak bisa lepas dengan tragedi buah apel itu. Penguasa rapuh kurang mampu mengekang libidonya. Terbiasa melakukan itu, dan penyimpangan itu dianggap tidak menyimpang. Padahal ada banyak yang menyimak, sebagai saksi sejarah.

Kayak-kayaknya, ada dalang yang menyebabkan Jokowi melewati jalur verboden itu. Ada amor merentang busur di baliknya. Ada rasa ra kepenak (tidak enak) untuk menolak. Yang terjadi, ngono yo ngono ning ngono o. Begitu ya begitu tapi begitulah akhirnya.

Nah, Stanislavski penggagas realisme dalam drama memberi saran. Sebuah adegan yang hidup itu harus dihayati untuk diekspresikan secara personal. Maka dalam kasus Kapolri ini, senyampang masih hangat, mari kita tafsirkan sendiri-sendiri. Itu sebelum semuanya reda, dan hilang tanpa jejak.

***Budayawan, tinggal di Jakarta

(nrl/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads