"LAPAN menganalisis dengan data satelit cuaca MT Sat, ada indikasi pembentukan awan cumulonimbus menjulang tinggi di wilayah titik hilangnya AirAsia tersebut. Dari analisis model atmosfer terindikasi wilayah hilangnya AirAsia tersebut terjadi hujan lebat sekaligus mengindikasikan wilayah tersebut Cumulonimbus, awan hujan aktif. Kemudian juga ada angin cukup kencang dari barat ke timur. Jadi informasi itu memperkuat hasil dari BMKG tersebut," jelas Kepala LAPAN Prof Thomas Djamaluddin saat dihubungi detikcom, Senin (29/12/2014).
Ditanya mengenai adanya kemungkinan petir seperti dilaporkan Weatherbug, layanan cuaca di AS, Thomas mengatakan tidak menganalisa badai petir tersebut. Namun badai petir, imbuhnya, memang hal wajar yang terjadi di dalam awan cumulonimbus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, pihak LAPAN tidak mengetahui yang sesungguhnya terjadi, apa yang menyebabkan pesawat hilang. Yang jelas, dari data analisa cuaca, saat itu jalur yang dilintasi AirAsia QZ8501 terjadi cuaca buruk.
"Apa yang menyebabkan hilang, belum diketahui pasti apa yang sesungguhnya terjadi. Cuaca pada waktu itu analisis satelit cuaca dan model atmosfer mengindikasikan pesawat memasuki kondisi cuaca yang sangat buruk," jelas dia.
Tentang apakah kemungkinan pesawat dimasuki es, Thomas mengatakan awan cumulonimbus memang memiliki suhu yang sangat dingin hingga minus 80 derajat (-80 derajat) celcius.
"Jadi kemungkinan puncak awan terbentuk es sangat mungkin. Tapi pada ketinggian jelajah pesawat AirAsia apakah terbentuk es, memang ketinggian 32 ribu kaki sudah minus temperaturnya," jelas Thomas.
(nwk/nrl)