Peradilan Sesat yang Selalu Terulang

Peradilan Sesat yang Selalu Terulang

- detikNews
Jumat, 28 Nov 2014 08:18 WIB
ilustrasi (ari saputra/detikcom)
Jakarta - Drama hukum yang berakhir getir seakan tiada akhir di Indonesia. Baik jaksa, polisi dan hakim kerap dijumpai menjalankan kewenangannya secara sewenang-wenang dan adakalanya juga muncul penyalahgunaan wewenang.

Dalam catatan detikcom, Jumat (28/11/2014), peradilan sesat pertama dipertontonkan dari Semarang, Jawa Tengah. Polisi, jaksa dan hakim menjebloskan seorang kasir, Sri Mulyati (37), ke penjara hingga 13 bulan lamanya.

Sri merupakan kasir di tempat karaoke di Komplek Ruko Dargo Blok D, Semarang. Tempat karaoke itu digerebek polisi pada 8 Juni 2011 dan Sri saat itu tengah tidak masuk kerja. Pengelola karaoke yang ada di lokasi lalu menelepon Sri dan meminta Sri untuk datang ke tempat kerja. Setibanya di tempat karaoke, Sri malah ditangkap dan dipenjara sedangkan pemilik karaoke, Santoso, bebas melenggang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada 4 Januari 2012, PN Semarang menjatuhkan hukuman kepada Sri karena mempekerjakan anak di bawah umur. Lantas Sri dijatuhi pidana penjara 8 bulan, denda Rp 2 juta atau kurungan 2 bulan dan biaya perkara Rp 2.500. Di tingkat banding, pada 19 Maret 2012 Pengadilan Tinggi (PT) Semarang menambah hukuman Sri menjadi pidana penjara 1 tahun.

Tidak terima, Sri pun kasasi dan dikabulkan pada 24 Juli 2012. Sri tidak terbukti terlibat karena dia juga hanya karyawan yang digaji Rp 750 ribu per bulan. Majelis kasasi yang membebaskan Sri yaitu Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja, Dr Salman Luthan dan Suhadi.

Setelah tidak terbukti bersalah, Sri hanya diberi ganti rugi Rp 5 juta usai mendekam 13 bulan di penjara.

Peradilan sesat kembali terulang dan kali ini dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) saat mengadili dr Bambang Suprapto, Sp.B.M.Surg. Majelis kasasi memidakakan dr Bambang dengan pasal yang telah dihapus Mahkamah Konstitusi (MK).

MA memakai pasal pidana pasal 76 dan pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran yang telah dihapus MK dihapus pada 19 Juni 2007. Adapun delik yang dituduhkan ke dr Bambang dilakukan pada Oktober 2007. Meski demikian, MA tetap menghukum dr Bambang dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan. Vonis itu diketok secara bulat pada 30 Oktober 2013.

Apakah kisah peradilan sesat telah berakhir? Ternyata tidak. Baru saja Pengadilan Negeri (PN) Tuban melakukan hal yang sama. Seakan tidak belajar dari kasus dr Bambang, PN Tuban memenjarakan sopir truk dengan UU yang telah tidak berlaku.

Darmadi ditangkap di Jalan Raya Desa Pucangan, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban, saat membawa 13 batang kayu jati dengan truk nopol S 8839 JA pada 17 Juli 2014. Lalu jaksa mendakwa Darmadi dengan dakwaan primair pasal 50 ayat 3 huruf f jo pasal 78 ayat 5 UU Nomor 41 Tahun 1999 dan dakwaan subsidair pasal 50 ayat 3 huruf h jo pasal 78 ayat 7 UU Nomor 41 Tahun 1999. Jaksa kemudian menuntut Darmadi selama 5 bulan penjara dan majelis Pengadilan Negeri (PN) Tuban mengabulkan serta menjatuhkan hukuman 4 bulan penjara.

Selidik punya selidik, UU itu telah dicabut dan pasal yang dikenakan ke Darmadi telah dianulir dalam pasal 112 UU UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang disahkan dan diundangkan sejak 6 Agustus 2013. Pencabutan UU itu jauh sebelum Darmadi ditangkap.

Atas kesalahan penerapan pasal itu, detikcom berusaha mengkonfirmasi kepada Ketua PN Tuban, Kurnia Yani Darmono tetapi hingga saat ini belum mendapat jawaban.

Sampai kapankah peradilan sesat akan terus terjadi di Indonesia?

(asp/fjr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads