"Kami menilai dakwaan keliru dan pemeriksaan terhadap Ervani tidak memenuhi syarat," kata tim penasihat hukum Syamsuddin Nurseha kepada wartawan seusai sidang di PN Bantul, Senin (17/11/2014).
Dia memaparkan pada saat penetapan tersangka pada pemanggilan pertama tanpa ada klarifikasi dan penjelasan rinci mengenai perbuatan yang dilakukan sampai dia dipanggil polisi dan dijadikan tersangka. Selama penyidikan juga tidak dijelaskan haknya untuk mendapatkan pendampingan dari penasihat hukum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, lanjut dia, jaksa juga langsung menahan. Padahal selama penyidikan, Ervani bersikap kooperatif. Jaksa juga tidak mempertimbangkan sikap kooperatif terdakwa dan sisi kemanusiaan.
"Penyidik mengabaikan proses hukum yang adil karena tidak menyediakan penasihat hukum. Itu melanggar ketentuan HAM pasal 18 ayat 4 UU No 39/1999," katanya.
Dia menambahkan sistematik dakwaan alternatif yang dibuat JPU juga keliru. Jakwa mendakwa alternatif dengan poasal 27 ayat 3 UU ITE No 11/2008 dan pasal 310 ayat 2 dan pasal 311 KUHP. Dia menyebutkan putusan Mahkamah Konstitusi No 50/PUU-VI/2008 menyatakan Pasal 27 ayat 3 UU nomor 11 tahun 2008 tentang ITE tidak mengatur norma hukum baru, melainkan hanya mempertegas berlakuknya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP ke dalam undang undang baru karena ada unsur tambahan yang khusus yaitu adanya perkembangan di bidang elektronik atau siber dengan karakteristik yang sangat khusus karena penghinaan yang diatur KUHP (penghinaan offline) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (online).
"Kami menilai jaksa nyata-nyata keliru menyusun bentuk surat dakwaan dalam bentuk alternatif. Seharusnya surat dakwaan disusun dalam bentuk tunggal. Dakwaan ini harus dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak diterima," pungkas Syamsuddin.
(bgs/try)