Posisi Jaksa Agung hingga kini masih kosong. Sempat muncul wacana bahwa posisi tersebut akan ditempati politisi dari salah satu partai koalisi pemerintah.
Menurut Pengamat Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Muhammad Mudzakir, posisi jaksa agung sebaiknya diisi mereka yang berprofesi sebagai jaksa. Kalaupun bukan jaksa, maka harus orang yang independen.
"Kalau itu jaksa agung bagian rezim atau bagian dari kabinet, maka khawatir tidak akan independen. Toleransinya kalaupun diluar jaksa, maka diisi pihak yang independen. Maksudnya tidak dari parpol atau praktisi lain yang tidak independen," kata Mudzakir, saat dihubungi detikcom, Minggu (2/11/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu yang harus dihindari. Kejaksaan ketika melakukan penyelidikan penyidikan yaitu pro yustisia, keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsentrasinya adalah penegakkan keadilan," tutur Mudzakir.
"Kalau dari politisi abislah itu. Setiap itu ada opisisi, setiap ada yang mengkritisi (pemerintah) akan dipakai untuk menghukum orang," lanjutnya.
Mudzakir juga mewanti-wanti agar jaksa agung tak berasal dari mereka yang berprofesi sebagai advocat. Hakim juga menjadi profesi lain yang tidak disarankan.
"Kalau mau dari non kejaksaan yaitu misalnya dari dunia akademik," tutupnya.
Partai NasDem salah satu partai penyokong Jokowi JK menyodorkan kadernya untuk posisi Jaksa Agung. NasDem mengajukan nama HM Prasetyo ke Jokowi untuk menduduki posisi prestisius itu. NasDem pun menepis argumen Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa Jaksa Agung harus yang muda, non parpol, dan berprestasi.
"Dia pengalaman mantan Jaksa Agung Muda dia salah satu Ketua DPP. Nggak ada kepentingan apapun, nggak ada ngamananin siapa atau ngamanin ini itu," kata Sekjen NasDem Patrice Rio Capella di Jakarta, Selasa (28/10).
(rna/rmd)