Video kekerasan yang dilakukan anak-anak SD di Bukittinggi membuat miris. Ironisnya, bullying itu kerap terjadi karena orang tua dan guru sering meremehkan bullying. Kerap terjadi si anak mengadu pada guru dan orang tua yang direspons bahwa anak itu berlebihan.
Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa), LSM yang khusus menangani kasus-kasus serta penanganan korban bullying sejak 2005, mendapati bahwa kerap kali dijumpai orang tua dan guru yang meremehkan bullying hanya sebagai kenakalan anak-anak biasa saja.
"Saya pernah training di salah satu sekolah, ada anak yang melaporkan dia diejek sama temannya. Respons gurunya, 'Ah kamu aja yang lebay'," jelas Program Officer Sejiwa, Hellen Citra Dewi (23).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut wawancara detikcom dengan Hellen Citra Dewi, Selasa (14/10/2014):
Video bullying anak SD di Bukittinggi ini membuat miris, apakah ada gejala pelaku bullying makin muda?
Kami pantau dan monitoring, angka bullying selalu meningkat. Fenomena ini kenapa? Menurut kami terutama pengaruh dari lingkungan terdekat anak, keluarga dan media yang mereka tonton. Contoh, sinetron, bahkan kartun juga bisa jadi contoh perilaku kekerasan.
Jadi seperti kartun Tom and Jerry yang dilarang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) itu bisa membuat perilaku bullying pada anak?
Nah bener. Ada penelitian psikologi, dulu, menempatkan anak dalam suatu ruangan, kemudian dipertontonkan salah satu kartun. Anak ini ditempatkan bersama boneka. Setelah anak ini menonton film mengandung kekerasan, anak ini melakukan kekerasan pada boneka itu.
Jadi apa yang mereka lihat dan dengar akan ditiru. Selain dari media, faktor yang paling besar biasa nonton apa saja yang mengandung kekerasan, sinetron-sinetron sekarang.
Kemudian, pengaruh keluarga. Orang tua sering melakukan kekerasan pada anak, anak akan meluapkan kemarahan pada teman-teman mereka. Orang tua mudah sekali memukul anak dengan alasan disiplin. Menjewer, menjiwit. Anak kan tidak punya power untuk membalas, jadi pelampiasannya ke sekolah.
Cara mendidik orang tua yang memukul, menjewer dan hukuman fisik lainnya sudah ketinggalan zaman?
Iya. Hasilnya sih efektif ya. Bandel, dipukul, anak setelah itu takut ngapa-ngapain. Efek psikologisnya ini yang besar, muncul kemarahan, tidak berani melawan orang tuanya, kemudian melampiaskan di luar. Tidak mesti melakukan bullying, bisa free sex atau narkoba.
Ini bisa jadi salah satu dari sekian banyak faktor pengaruh dari rumah dan keluarga. Corporal punishment itu (memukul, menjewer, memarahi) tidak hanya dilakukan oleh orang tua saja, guru juga mudah sekali marah pada anak, seperti melempar kapur atau spidol. Tidak hanya secara fisik, verbal juga, seperti 'Kamu lebay', 'kamu bego'.
Saya pernah training di salah satu sekolah, ada anak yang melaporkan dia diejek sama temannya. Respons gurunya, 'Ah kamu aja yang lebay'.
Bullying bisa semakin besar karena banyak yang tak paham mnengenai bullying, tak ada sistem yang jelas menangani bullying, media yang ditonton anak mengerikan. Satu hal lagi, saya pribadi, kecewa menonton berita, statement entah dari orang dinas atau apa, yang menyatakan itu (kekerasan dalam video SD di Bukittinggi) hanyalah keisengan anak. Anak-anak aja yang iseng.
Banyak pelajaran dari orang dewasa bahwa bullying adalah hanya keisengan anak, nggak apa-apa. Itu banyak pemikiran jadul, anak melakukan kekerasan, dianggap nggak apa-apa karena masih belajar. Itu yang salah.
Kemudian tak ada konsekuensi bila melakukan kekerasan. Tapi bila orang tuanya memukul anak, anak akan semakin rendah self esteem (harga diri)-nya, bisa marah. Jadi harus hati-hati.
Jadi orang tua dan guru tidak boleh menganggap enteng, tidak boleh juga memarahi anak bila kedapatan melakukan kekerasan. Lantas bagaimana seharusnya orang tua dan guru menangani anak yang melakukan kekerasan?
Harusnya dibimbing, mengenalkan konsekuensi. Memukul ini tidak boleh, kenapa? Apa dampaknya? Kalau kamu mengejek teman kamu, konsekuensinya apa?
Diskusi, anak harus dilibatkan untuk membuat aturan main. Orang tua dan guru harus hati-hati. Jangan merendahkan, atau menghancurkan self esteem-nya. Nanti anak bisa tidak berdaya, tidak percaya diri.
Anak-anak yang biasa dikerasi dari kecil baik oleh ortu dan guru, kemungkinan besar melakukan bullying, semasa dewasa menjadi pelaku tawuran kriminal. Dalam kasus video bullying anak SD itu, yang luka tidak hanya fisik, tidak hanya badan lebam-lebam, tapi juga psikologis.
Ada kasus yang pernah saya temui, sampai anaknya fobia sekolah, depresi. Pernah ada orang tua yang datang konsultasi, anaknya kelas 1 SMP tidak mau sekolah selama 4 bulan karena diejek teman-temannya. Ada juga yang sekarang jadi survivor bullyying, sebelumnya tidak mau sekolah selama 1 tahun. Sekarang anak itu sudah dewasa dan menjadi pejuang anti-bullying.
Bagaimana dengan orang tua yang mengajarkan, 'jangan memukul, namun kalau dipukul, pukul balik'? Apakah itu benar?
Saya juga pernah memberikan training, kalau kalian dipukul, memukul teman dan kalian balas itu akan jadi lingkaran setan dan pukul-pukulan. Kalau mengejek, kamu ngatain saya jelek, saya marah, dan ngatain lagi kan? Memukul juga begitu, balas-balasan.
Komunikasi saja, kalau ada yang memukul kamu, bilang 'Saya nggak suka kamu pukul', ngomongnya harus tegas. Berani melapor pada sekolah, orang tuanya. Orang tuanya juga demikian, kalau dilapori jangan langsung mendatangi sekolah dan marah-marah dengan membabi buta. Akhirnya, ditonton temannya, makin besar masalahnya, diejekin sama teman-temannya 'bocor', 'lemes'. Jadi hati-hati.
Dalam kasus video kekerasan siswa SD di Bukittinggi, kedua belah pihak saling meminta maaf. Upaya sederhana saling minta maaf, cukupkah untuk pelaku bullying muda?
Si anak dibimbing, dibenarkan, ditunjukkan perilaku mana yang salah, seperti apa seharusnya. Perlu pendampingan psikolog, guru-guru, orang tuanya. Menghadapi bullying tidak bisa salah satu sisi saja, hanya menasihati 'Kamu jangan mem-bully'. Namun orang tua, guru, lingkungan belajar mesti memberikan contoh. Tidak bisa kalau misalnya melihat orang tuanya juga suka mengejek.
Semuanya mesti dibenahi. Bagaimanapun, penyebaran video ini, anak tahu kemudian merasa malu, merasa tidak nyaman. Pelaku dan korban didampingi, dibimbing bagaimana seharusnya.
Sekolah membuat sistem anti-bullying, tidak hanya pelaku yang harus ditunjukkan mana yang benar, mana yang salah, tetapi saksi juga, teman-temannya di sekolah yang melihat juga mesti diberikan pengetahuan bahwa itu nggak boleh. Kemudian, bagaimana berteman yang baik. Mengajarkan komunikasi asertif, jangan marah, jangan pula agresif atau pasif. Menyampaikan perasaan dengan baik dan menghargai hak orang lain.
(nwk/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini