Dato Sri Tahir, konglomerat terkaya nomor 12 di Indonesia, diangkat menjadi penasihat Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Tahir pun menyumbang 1.000 rumah untuk prajurit. Kontroversi pun merebak. Apa imbalan yang Tahir dapat?
Pemilik Mayapada Group ini menilai anggapan orang tentang imbalan yang didapat dari menyumbang TNI merupakan pemikiran yang salah. Ia mengaku sudah mendapat banyak dari TNI dan bangsa ini.
“Lo, sekarang itu waktunya saya mau partisipasi,” kata Tahir kepada majalah detik di kantornya, Mayapada Tower, Jalan Sudirman, Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diselingi banyak humor, Tahir memaparkan prinsip hidupnya, alasannya menjadi filantrop, juga kecintaannya pada TNI. Berikut ini wawancara Aryo Bhawono, Irwan Nugroho, dan Okta Wiguna dari majalah detik dengan Dato Sri Tahir.
Bantuan 1.000 rumah untuk prajurit yang Anda lakukan menjadi kontroversi. Bagaimana tanggapannya?
Saya kerja dengan keyakinan. Saya tidak hitung untung-rugi. Kemarin kan kita lihat di detikcom, orang bilang tidak ada free lunch, tidak ada sesuatu yang cuma-cuma. Dan saya setuju seratus persen, seribu persen. Masalahnya, ini urutannya salah. Pemikiran orang, saya memberikan rumah kepada prajurit (sebanyak) 1.000 rumah, apa (saya) dapatnya gitu, lo. Kenapa tidak dibalik?
Dibaliknya begini, saya itu lahir di Indonesia, makan dan minum air di Indonesia. Saya sudah dapat, he-he. Maksudnya, saya sudah dapat (lunch) duluan kok. Lo, sekarang itu waktunya saya mau partisipasi.
Saya sudah menikmati. Saya bisa ada tabungan. Anak saya bisa sekolah dengan baik. Jadi saya sudah nikmati. Sudah waktunya partisipasi. Kalau you bilang tidak ada free lunch, ya itu tidak ada free lunch. Makanya saya harus melakukan sesuatu.
Jadi saya agak aneh, kok jadi pro-kontra? Apa yang mau di-pro? Apa yang mau dikontrakan? Urusan gampang saja. Orang mau mikirin prajurit, mau bangun 1.000 rumah. Wah, terus cerita jangan mengganggu kebijakan TNI. Kok sampai jauh banget gitu, lo? Apa urusannya sama kebijakan TNI?
Sebelum bantuan 1.000 rumah prajurit, apakah Anda sudah ada kerja sama dengan TNI atau Panglima TNI?
Saya itu berbicara ke Pak Moeldoko karena teman baik, “Pak, mari kita pikirin soal prajurit, Pak.” Jadi, dua tahun lalu, kita sudah kerja (kerja sama), tapi kan tak pernah diekspos. Rumah Sakit Galunggung di Sukabumi. Itu rumah sakit tentara, tapi enggak jalan. Jadi semua saya renovasi kembali.
Sudah lakukan renovasi, lalu saya bilang ke Pak George (George Toisutta, mantan kepala staf TNI AD), “Pak George, ini anak tentara beasiswanya saya yang bantu.” Dan waktu Pak Moeldoko, saya juga bantu beasiswa. Dari sana terus merambat, baru cerita soal rumah prajurit. Bukan mendadak-mendadak.
Mengapa memilih memberi bantuan untuk TNI?
Lo, kenapa you tanyakan itu? Bukankah TNI itu bagian dari suatu komposisi masyarakat? Jadi artinya seperti you tanya, “Kenapa kok ke perempuan, bukan ke laki?” Apa enggak terlalu jauh itu?
Secara teknis, nanti pembangunan rumah prajurit itu akan bagaimana?
Jadi pemikiran kita kan menyangkut perumahan. Tadinya, pikiran saya, mungkin dari TNI bisa siapin ladang. Ternyata ini ladang juga berat. Kalau 1.000 rumah itu kurang-lebih (butuh) 20 hektare. Ha, ndak gampang itu. Jadi saya ambil inisiatif, “Sudah, tanahnya kita siapin,” gitu. Nah, dua tempat yang sekarang kita incar, satu di Maja, karena Maja itu lain hari menjadi kota satelit untuk Jakarta. Maka dipikir double track kereta api ke Maja itu. Dibikin double track.
Satu lagi yang lebih dekatan Balaraja. Sudah ada dua yang menawarkan. Jadi kita cari yang kira-kira 25-20 hektare. Nah, rumah itu kebetulan ada penghematan, dibangun rumah itu knockdown. Itu buatan Cina. Dan saya sudah lihat di Pontianak. Sekarang gudang saja knockdown. Ruko saja knockdown.
Pertama, cepat. Tiga bulan selesai. Dan bagus sekali. Ini teknologi modern. Dan menurut saya, untuk prajurit, juga bagus dan bisa pindah-pindah, itu lain hari misalnya kalau dari kompleks ini kenapa, kan tinggal dipindah. Dan cepat gitu, lo. Dan sekarang saya kebut. Insya Allah 3-4 bulan selesai. Jadi sesimpel itu saja.
Siapa yang menawarkan tanah untuk dibangun rumah itu?
Swasta. Tanahnya kan enggak ada. Jadi kita harus beli sendiri gitu, lo. Jadi ada developer-developer yang menawarkan tanah.
Apakah yang dua tempat ini merupakan tahap awal saja?
Pemikiran saya kan, makanya komunikasi kita dengan Panglima itu adalah, kalau Jakarta ini sudah selesai, sudah serah-terima, saya ingin kalau bisa dilanjutkan ke provinsi. Tiap provinsi mungkin antara 200 rumah sampai 300 rumah. Dan biayanya juga besar. Bikin rumah kan enggak kecil.
Berapa dana yang Anda sediakan untuk membangun 1.000 rumah itu?
Bukan disediakan. Saya cerita kan berapa yang akan dibangun gitu, ya. Satu rumah itu kalau 36 meter (persegi), termasuk tanah, kan kira-kira harganya Rp 80-90 juta. Kalau dengan knockdown itu bisa menghemat kira-kira Rp 60-70 juta. Jadi menghemat sampai kira-kira Rp 25 persen. Jadi, kalau you membangun rumah, ya kira-kira perlu Rp 60-70 miliar, ya. Kira-kira segitu.
Yang dua tempat itu akan dimulai kapan pembangunannya?
Secepatnya. Mungkin dalam satu-dua minggu ini sudah selesai tanahnya. Lalu pemikiran saya, saya sudah bicara dengan kita punya tim Tahir Foundation bahwa harus cepat. Ya moga-moga dalam waktu empat bulan kita sudah bisa serah-terima. Knockdown itu tiga-empat bulan selesai. Kalau membangun itu bisa lama, bisa setahun.
Di TNI kan banyak sekali kesatuan, batalion ini dan itu. Rumah itu untuk kesatuan yang mana?
Itu tergantung kebijakan beliau (Panglima TNI). Saya enggak ngikutin itu. Mau dibagi AL berapa, AU berapa, itu saya enggak ikut lagi.
Anda kan pebisnis sibuk, lantas bagaimana membagi waktu sebagai penasihat Panglima TNI?
Sementara ini saya bukan penasihat yang artinya tiap hari kasih tahu “Pak, Bapak itu ke sana lo, Pak”, ha-ha. Saya dikasih tugas, “Pak Tahir, you ada niat yang baik, oke, jalanin saja itu.” Jadi saya tukar pikiran, “Nanti di mana lokasinya? Cocok apa ndak? Nanti terserah rumah ini cocok apa enggak yang ukuran 36?”
Atau beliau merasa “Oh, nanti rumahnya lebih baik begini,” Di sana bicaranya, ha-ha-ha. Itu kan cerita orang di media sosial. “Wah, ini mengganggu policy TNI,” Aduh-aduh, kok jauh banget? Lalu orang yang menjadi penasihat presiden apa presiden diatur tiap hari? Ya enggak juga gitu, lo. Ya kita tahu diri apa peranan kita, he-he-he.
Bagaimana cerita perkenalan Anda dengan Panglima?
Saya mengenal beliau sejak Kasdam. Jadi, teman. Beliau kan lulusan yang terbagus dulu.
Kapan persisnya mulai ada pembicaraan mengenai rumah ini?
Pembicaraan saya pertama beasiswa dulu kepada anak tentara. Itu pertama yang kita lakukan. Sebenarnya kan saya sudah lakukan pada saat Pak George menjadi KSAD, ya. Lalu zaman Pak George itu RS Galunggung kita benerin. Waktu itu pangdamnya saya masih ingat, Pramono Edhie. Tapi, waktu sudah jadi, terlalu jauh saya suruh meresmikan. Sudah, jalan sudah. Yang penting itu tadi, efektif, efisien. Yang lain enggak penting.
Jadi, awalnya Anda memberi beasiswa ke anak-anak TNI itu, ya?
Ya, beasiswa zaman Pak George, Ibu George. Waktu itu namanya Persatuan Istri Prajurit Kartika Chandra Kirana.
Jadi, awalnya beasiswa, terus kemudian ketemu Pak Moeldoko itu, ya?
Iya, saya yang usulkan. Saya bilang, “Pak, mungkin rumah prajurit itu bagus.” Beliau tanggapi dengan positif. Saya lupa ketemunya di mana, ha-ha. Tapi saya juga jarang ketemu. Paling dua sampai tiga bulan sekali.
Beliau kan juga sibuk. Beliau bukan orang yang kita ajak telepon, teman. Bukan. Kita sibuk, beliau sibuk. Kalau ketemu, saya selalu gunakan waktu dengan baik. Ndak ngalor-ngidul. Daya selalu nanya, “Pak, ini apa yang bisa dikerjain?”
Bukankah pengadaan rumah prajurit sudah dibiayai oleh negara?
Eh, mungkin saja. Saya enggak tahu kalau itu. Cuma, saya selalu merasa, di seluruh dunia, negara mana pun, pasti ada keterbatasan. Maka dari itu dibutuhkan partisipasi swasta. Wajar dan harus sebagai seorang swasta ikut partisipasi dalam pembangunan. Hanya berbeda-beda fungsi, berbeda-beda posisinya. Makanya, kalau Anda bilang “tidak ada free lunch”, saya setuju. Cuma, saya sudah menikmati lunch-nya. Bukan urutannya dibeda, ya.
Anda-anda semua wartawan boleh cek. Saya Tahir tidak pernah kerja dengan pemerintah sejak saya lahir sampai hari ini. Tidak pernah. Saya bersih. Insya Allah saya bersih. Saya tidak pernah dapat proyek, rekanan, supplier, atau apa, tidak pernah. Ruilslag apalagi, itu tidak ada.
Penganugerahan jabatan penasihat ini baru pertama kali di TNI?
Nah, itu bagian yang saya tidak bisa jawab. Bagian yang you harus tanya sama Panglima. You tanya apa yang saya mau kerjakan saja, ha-ha. Kalau itu saya jelaskan.
Karena memang sebelumnya belum ada jabatan penasihat di TNI?
Saya baru tahu setelah di media sosial itu. Saya juga enggak main di media sosial. Jadi saya cuma dikasih (tahu) sekretaris, “Pak, ini ada berita.” Saya enggak lihat isinya, cuma lihat fotonya baik apa enggak, fotonya bagus apa enggak, ha-ha-ha.
Sewaktu diberi jabatan penasihat Panglima, apakah Anda langsung menerima?
Orang melihat kan kompleks, ya. Apa keuntungannya? mikirnya kan gitu. Kalau keuntungannya begitu besar, terimanya rela apa enggak rela? Gitu. Tapi, kalau merupakan tugas yang baik, yang mulia, enggak ada pikiran ndak jadi penasihat atau jadi penasihat, bagi saya enggak ada bedanya tuh. Yang penting rumah ini cepat diselesaikan, cepat diserahkan. Gitu. Kayak di Menko Kesra dapat kamar saya, Pak. Ndak pernah ngantor saya.
Dapat gaji?
Enggak tahu, mestinya dapat. Saya enggak pernah terima, kok. Staf khusus dapat fasilitas, lo. Katanya, kalau naik Garuda dapat potongan atau apa gitu.
Lantas yang di TNI ini apakah dapat fasilitas juga?
Harus tanya Pak Moeldoko itu, saya belum terima, ha-ha.
Panglima TNI mengabari Anda kapan?
Ya, dikasih tahu gitu saja. Saya pikir ya gitu-gitu saja. (Lewat telepon atau apa) saya juga lupa itu. Tapi saya pikir gitu-gitu saja, he-he-he. Kehormatan, iya. Tapi, di dalam buku saya, saya mengatakan sebuah kehormatan, prosesnya orang tidak ingin tahu. Tetapi, begitu Anda dapat kehormatan, masyarakat mempunyai suatu harapan atas penghargaan itu.
Ramai di media sosial, dengan posisi ini Anda dapat pengamanan lebih dari TNI, jadi orang enggak berani macam-macam sama Anda. Tanggapannya?
Saya mau cari jawaban yang enak untuk you. Saya kira kita sama-sama harus menghormati institusi TNI. Institusi TNI itu bukan alat untuk backing atau apa.
Saya tadi bilang, hari ini saya bisa dagang yang baik, saya bisa dagang normal karena ada aparat negara yang ikut mengamankan. Saya tadi bilang, saya, dari muda, sebelah saya itu markas. Jadi kita ngerti banget kehidupannya. Kalau saya merasa perkenalan itu untuk menambah kekuatan, itu menurut saya, saya tidak etis dan tidak baik.
Rumah bantuan ini jadi milik pribadi tentara, ya?
Ini rumah milik. Saya serahkan ke TNI. Nanti terserah TNI mau gimana.
(irw/nwk)