Apabila dulu tawuran dan kekerasan serta bully antar angkatan dianggap sebagai bentuk aktualisasi diri dan solidaritas, maka saat ini telah terjadi pergeseran makna mengenai definisi kekerasan, tawuran bahkan bully tersebut.
"Telah terjadi Pergeseran makna mengenai kekerasan yang terjadi di sekolah ini. Inti dari pembentukan budaya terlepas, namun melebur ke dalam aksi kekerasannya,"β ujar Sari Monik Agustin, pengamat sosial dari Pusat Kajian Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia dalam diskusi hasil penelitian 'Budaya Kekerasan dan Bullying di Sekolah Menengah Atas' di Universitas Al Azhar Indonesia, Kebayoran Baru, Jaksel, Kamis (25/9/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penyatuan ini menyebabkan mereka para siswa ini merekonstruksi pembangunan identitas ini dengan menggunakan kekerasan kepada adik juniornya," jelasnya.
"SMA 70 ini juga termasuk sekolah yang unik, karena memiliki tradisi militer, walaupun bukan murni militer, namun kerap menggunakan istilah militer seperti kavaleri, kudeta dan sebagainya. Pada tahun 90-an, kalau kita gali lebih dalam, memang merupakan masa dimana pertarungan antar sekolah dikuasai oleh sekolah seperti STM. Dan SMA 70, walaupun sekolah unggulan, ikut diperhitungkap reputasinya sebagai sekolah yang kerap melakukan aksi tawuran dan kekerasan," sambung Monik.
Dalam istilah sosiologi, dikenal istilah 'differentional association', dimana si junior memberikan kenyamanan dalam budaya yang terus dipertahankan. SMA 70 termasuk sekolah unggulan, bukan sekoah ecek-ecek yang suka berkelahi dan tidak peduli dengan nilai akademis, tetapi mereka juga ikut dalam budaya ini.
"Ini artinya,budaya (kekerasan) ini sangat kuat dan dilestarikan. Siapapun yang ingin masuk ke sekolah ini, harus siap menerima budaya tersebut dengan dua pilihan, ikuti arus dan ikut menjadi pelaku kekerasan, atau menolak, namun menjadi korban kekerasan," ungkapnya.
Merunut dari sejarah sekolah, hingga peristiwa yang terjadi baru-baru ini, Monik menganggap, banyak pihak yang harus bertanggung jawab untuk hal ini.
"Tidak hanya pihak sekolah, siwa ataupun alumni, namun juga lingkungan masyarakat di sekitar sekolah, yang mungkin selama ini mengetahui adanya aksi kekerasan, namun memilih mengabadikan karena menganggap hal tersebut biasa. Kalau ini terjadi puluhan tahun, berarti ini merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri.," tutupnya.
Kini sekolah itu sudah berubah. Pemprov DKI bersikap tegas, demikian juga pihak sekolah. Contohnya saja, ketika ada laporan yang melakukan bully, pihak sekolah langsung memberi sanksi dengan pemecatan pada siswa itu.
(rni/ndr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini