Multitafsir 'perbuatan tercela' dalam UUD 1945 membuka peluang mudah untuk memakzulkan presiden. Apalagi tata cara impeachment belum diatur tegas di Indonesia. Hal ini dikhawatirkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva karena bisa mengancam kestabilan pemerintahan.
"Dengan masih minimnya ketentuan UU yang mengatur lebih rinci mekanisme pemakzulan akan lebih rinci mekanisme pemakzulan akan lebih memudahkan penafsiran politik ditentukan oleh suara mayoritas," kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva.
Hal itu dia tuliskan dalam halaman 161 buku berjudul Impeachment Presiden edisi revisi terbitan KonsPress yang dikutip detikcom, Kamis (25/9/2014). Buku edisi revisi ini merupakan penyesuaian dari edisi sebelumnya yang disadur dari disertasi Hamdan saat meraih gelar doktor dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada 2010 silam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas realitas itu, maka Hamdan memberikan saran supaya segera diatur regulasi mekanisme pemakzulan. Secara umum, pemakzulan belum tentu berarti presiden lengser. Sebab pemakzulan layaknya sebuah dakwaan atau dalam ketatanegaraan Amerika Serikat disebut dengan article of impeachment.
Dakwaan itu akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) apakah nota dakwaan itu sesuai konstitusi atau tidak. Jika tidak, maka dakwaan itu ditolak dan pemakzulan kandas. Jika Mahkamah Konstitusi (MK) menilai dakwaan itu memenuhi kaidah apa yang dimaui konstitusi, maka dakwaan itu lolos dan dibawa ke MPR untuk diambil suara mayoritas, apakah presiden diberhentikan atau tidak.
Meski demikian, tidak adanya regulasi yang jelas soal pemakzulan tetap menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia.
"Jika tidak, keunggulan sistem pemerintahan presidensial yang fix term dan kestabilan pemerintahan yang dicita-citakan oleh UUD 1945 berada di bawah ancaman," cetus Hamdan dalam halaman 162.
(asp/nrl)