SBY Bicara Perang, Soft Power, dan Penanganan ISIS

Laporan dari New York

SBY Bicara Perang, Soft Power, dan Penanganan ISIS

- detikNews
Selasa, 23 Sep 2014 15:05 WIB
Presiden SBY saat pidato (Foto: Arifin Asydhad/detikcom)
New York, - Presiden SBY mengingatkan bahwa jenis perang terus berkembang saat ini, karena sifat ancaman juga berubah. Ada perang konvensional dan perang non konvensional. SBY juga memunculkan kekuatan soft power, yang menurut dia, bisa menjadi strategi dalam menangani ISIS.

Hal-hal ini disampaikan Presiden SBY saat berpidato di depan ribuan kadet di Akademi Militer Amerika Serikat di Robinson Auditorium, West Point, Senin (22/9/2015). SBY membawakan pidatonya dengan tema 'Peran Militer dalam Mengubah Dunia'. Selain berpidato, dalam kunjungannya selama 3 jam di West Point, SBY juga menyempatkan diri makan siang bersama 4.400 kadet.

Menurut SBY, saat ini jenis perang terus berkembang seiring dengan berubahnya sifat ancaman. "Kita harus mempersiapkan diri untuk perang konvensional dan juga perang non-konvensional di mana faktor asimetris ikut bermain. Teknologi akan terus mendorong revolusi dalam urusan militer. Hal ini juga mendorong pengembangan strategi baru, taktik dan doktrin militer," kata SBY. Saat ini, operasi militer selain perang semakin menarik perhatian militer di seluruh dunia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penanganan pemberontakan dan terorisme saat ini bisa menjadi sulit dan rumit. "Tentara reguler sekarang harus menghadapi musuh yang memiliki ideologi dan keyakinan, militansi dan persepsi yang sama sekali berbeda dari mereka. Hal ini telah membuat perang hari ini bahkan lebih kompleks. Sebagai contoh, apakah tentara reguler siap untuk menghadapi aksi teror dan pemberontakan oleh ribuan orang yang bertekad untuk menjadi pelaku bom bunuh diri? Apakah tentara konvensional di dalam negeri atau di luar negeri siap untuk menghadapi ancaman terorisme yang mungkin terjadi setiap saat? " tanya SBY.

Teknologi senjata canggih yang dimiliki Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara juga memiliki keterbatasan saat digunakan di medan perang. Ini juga pernah dialami di Indonesia ketika menangani pemberontakan, karena kemampuan pemberontak menggunakan medan yang sulit dan penggunaan sarana asimetris lainnya. "Tentunya, jenderal dan kolonel harus menemukan solusi yang efektif menghadapi banyak tantangan dan masalah yang sulit ini," ujar SBY.

Pada saat yang sama, hubungan internasional saat ini lebih dinamis, keseimbangan geopolitik terus bergeser. Sumber konflik baru muncul, antara lain kompetisi untuk sumber daya alam, terutama pangan dan energi yang semakin langka. Dan ini dipicu oleh peningkatan yang stabil dari populasi dunia yang akan mencapai sembilan miliar.

Geopolitik yang mencerminkan hubungan yang kurang baik antara Islam dan Barat juga menjadi tantangan tersendiri. Konflik di Timur Tengah juga masih belum terselesaikan, sementara pada saat yang sama, kata SBY, banyak sarjana telah meramalkan kembalinya Perang Dingin, sebuah era yang seharusnya telah berakhir dengan runtuhnya Tembok Berlin.

"Ini adalah realitas baru dari dunia kita. Sebuah dunia yang lebih kompleks dengan mendalam keterkaitan antara politik, militer, psikologi dan emosi, dan juga ideologi dan geopolitik baru. Hal ini terjadi di tengah-tengah tantangan global yang sedang berlangsung seperti perubahan iklim, kemiskinan global dan ketidaksetaraan, dan persaingan baru antara kekuatan besar dan ketegangan global lainnya. Saya yakin bahwa para pemikir militer yang besar dan tokoh-tokoh masa lalu seperti Napoleon, Clausewitz, Jomini, Liddle Hart, Sun Tzu, Mahan, dan banyak lainnya, - jika mereka hidup di dunia sekarang ini, mereka akan merevisi teori dan landasan berpikirnya," kata SBY.

Lantas, dengan semua tantangan baru dan kompleksitas, apa yang bisa dilakukan bersama-sama? Dengan cara apa militer menjalankan tugasnya secara efektif? Bagaimana bangsa dan pemimpin dapat bertindak bersama-sama untuk mencegah dunia dari memburuk? Dalam hal ini, SBY menyoroti tiga poin penting.

Pertama, mengingat kompleksitas konflik di berbagai belahan dunia, solusi yang mengandalkan langkah-langkah militer saja biasanya tidak mengatasi situasi. Sebuah penyelesaian yang komprehensif biasanya membutuhkan seperangkat solusi politik dan lainnya. Sebagai contoh mengenai Islamic State on Iraq and Suriah (ISIS).

"Misalnya, berkaitan dengan tantangan ISIS di Timur Tengah dan tindakan terorisme lainnya di berbagai penjuru dunia, saya percaya apa yang kita butuhkan adalah pendekatan multi-cabang. Untuk menghadapi situasi yang sulit dan kompleks ini, perlu diterapkan soft power atau smart power dalam dosis yang berbeda dan bentuk. Misalnya, setelah ISIS dapat dikalahkan secara militer, kita akan sangat membutuhkan untuk datang dengan langkah-langkah selanjutnya untuk memastikan bahwa generasi mendatang tidak akan mengambil penyebab jahat mereka lagi. Ini bukan tugas militer, tetapi tugas politisi, diplomat, tokoh agama dan masyarakat sipil. Di Indonesia, misalnya, dalam menghadapi ancaman teroris, kami telah bekerja program deradikalisasi serta memberdayakan para pemimpin agama yang moderat untuk roll-back ekstremisme setelah sejumlah serangan teror," urai SBY.

Kedua, mengakhiri perang jauh lebih sulit daripada memulai itu. Di sinilah politik dan diplomasi yang efektif sangat diperlukan, berdasarkan komitmen yang kuat oleh para pemimpin politik dunia untuk memilih pilihan politik dan diplomatik dalam mengejar kepentingan nasional. Meskipun ini bukan pilihan yang mudah, namun selalu ada jalan.

SBY kemudian menceritakan penanganan Aceh dan Timor Leste. "Dalam waktu satu tahun kepresidenan saya, kami mampu mengakhiri tiga dekade konflik bersenjata di Aceh. Dengan kemauan politik yang kuat, dalam dua sampai tiga tahun, kami mampu mencapai rekonsiliasi damai dengan Timor-Leste setelah dua puluh lima tahun konflik. Selain itu, melalui negosiasi, kami mampu mencapai kesepakatan di perbatasan dengan beberapa tetangga kita. Kita tahu betul bahwa masalah perbatasan bisa dengan mudah berubah menjadi konflik militer terbuka," kata SBY.

Dalam empat bulan terakhir, lanjut SBY, Indonesia juga berhasil menyelesaikan delimitasi perbatasan maritim Indonesia dengan Filipina, dan juga dengan Singapura. "Karena itu, saya harus mengatakan bahwa saya bukanlah seorang utopis atau membuta mengikuti idealisme dalam teori Hubungan Internasional. Saya menyadari, dalam beberapa situasi kita tidak dapat selalu menggunakan cara-cara damai untuk mengakhiri konflik. Oleh karena itu, militer harus selalu siap untuk melakukan tugas mereka dalam membela kepentingan nasional," ujar SBY.

Ketiga, meski menghadapi ketegangan geopolitik di berbagai belahan dunia dan masih ada situasi bermusuhan antar negara, perlu ada upaya peningkatan kepercayaan diri. Hal ini dapat dilakukan melalui pertukaran pendidikan dan pelatihan, saling kunjung perwira militer, pelatihan bersama seperti di bidang anti-terorisme, operasi bantuan bencana, dan misi penjaga perdamaian.

"Saya bangga bahwa militer kedua negara kita telah terlibat dalam berbagai pelatihan bersama di masa lalu dan masih banyak lagi di masa yang akan datang. Baru saja Agustus lalu, mereka mengambil bagian dalam latihan bersama operasi penjaga perdamaian gabungan dengan kontingen multinasional di Indonesia Peace Keeping Center (IPSC) di kawasan Sentul. Sekitar 850 tentara dari 21 negara ikut ambil bagian dalam latihan ini. Sekali lagi, saya menggarisbawahi bahwa militer dapat memainkan peran penting dalam upaya pencegahan konflik," kata SBY.

Dalam pengalaman memimpin Indonesia selama sepuluh tahun terakhir, menurut SBY, politisi datang dan pergi. "Tetapi jika hubungan antara militer dan hubungan antara pelaku usaha dan ekonomi kuat, maka politisi akan berpikir dua kali sebelum menyatakan perang. Karena perang apapun pada akhirnya akan mempengaruhi kita semua," ujar dia. Asean sebagai bukti. Saat ini Asean dianggap sebagai kawasan yang damai dan stabil meskipun faktanya bahwa empat puluh tahun yang lalu wilayah ini terbagi, beberapa negara terlibat permusuhan dan perang.

Bagi SBY, dunia akan lebih baik bila semua pihak mengedepankan perdamaian. "Bagi saya, perang adalah jalan terakhir setelah kita kehabisan semua cara-cara damai. Tapi perang dapat dibenarkan ketika kelangsungan hidup kita dan kepentingan vital berada di bawah ancaman. Saya yakin bahwa peran politisi memang penting. Seperti ungkapan, There are no war-like people. There are only war-like leaders," kata SBY.

Namun, kata SBY, militer harus selalu siap untuk perang dan pertempuran. "Ini adalah apa yang saya lakukan di masa lalu. Namun, para pemimpin politik memiliki kewajiban moral kapan dia harus menyatakan perang. Dan sadarlah bahwa tentara tidak akan berperang dan mati, kecuali mereka tahu untuk apa mereka berperang dan mati itu," kata SBY.

"Saya berdoa agar semua taruna suatu hari akan menjadi patriot, prajurit, dan pemimpin militer yang sukses. Dan Anda juga bisa menjadi pasukan penjaga perdamaian untuk kemajuan negara dan dunia," harap SBY dalam menutup pidatonya.

(asy/mpr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads