'Babad Diponegoro' yang Legendaris Terbit di Malaysia dan Belanda, Tapi di RI Tak Ada

'Babad Diponegoro' yang Legendaris Terbit di Malaysia dan Belanda, Tapi di RI Tak Ada

- detikNews
Kamis, 28 Agu 2014 08:52 WIB
Jakarta -

"Kapan Perang Diponegoro terjadi? Selepas magrib". Itu adalah salah satu jembatan keledai paling terkenal saat sekolah untuk menghapalkan tahun perang Diponegoro: 1825-1830. Namun pamor 'Babad Diponegoro' di Indonesia rupanya tak setenar jembatan keledai itu.

'Babad Diponegoro' adalah naskah kuno yang berisi kisah hidup Diponegoro atau perang Diponegoro. Menurut sejarawan asal Inggris, Peter BR Carey, ada beberapa penulis yang menuliskan kisah hidup Diponegoro dan perang Diponegoro itu, termasuk Pangeran Diponegoro sendiri.

"Ada naskah yang mungkin tidak ditulis tapi didiktekan, diceritakan oleh Diponegoro, pada 1 orang juru tulis yang membuat 1 bentuk macapatan dari Babad, itu ditulis di Manado (tempat pengasingan Diponegoro) antara bulan Mei 1831 dan Februari 1832, 9 bulan. Dan itu diakui oleh PBB," kata Prof Peter Brian Ramsey Carey menjawab pertanyaan detikcom tentang berapa versi Babad Diponegoro sebenarnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu disampaikan dia usai peluncuran dan bedah buku "Strategi Menjinakkan Diponegoro" yang ditulis sejarawan Saleh As'ad Djamhari di Freedom Institute, Jalan Proklamasi 41, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2014) malam.

Naskah yang diakui UNESCO, diceritakan dari mulut Diponegoro sendiri itu ada 2 naskah. Naskah satu berbahasa Belanda dan naskah kedua dalam aksara pegon berbahasa jawa.

Ada pula naskah 'Babad Diponegoro' tentang perang Diponegoro yang dituliskan Yosodipuro II dari Keraton Surakarta. Nah, Peter awalnya menawarkan naskah yang dituliskan Keraton Surakarta ini kepada penerbit di Indonesia, tapi tak ada satupun yang tertarik menerbitkannya. Jadi, dia pun menawarkan ke penerbit di Malaysia.

"Iya, saya tidak tahu di sini, tapi itu diterbitkan di Malaysia," jelas dia.

Di Malaysia, buku 'Babad Diponegoro' yang ditulis Yosodipuro II itu terbit dengan judul "An Account of the Outbreak of the Java War (1825-1830)" dan Peter sebagai editornya.

Peter mengilustrasikan, bila sekarang pergi ke toko buku di Indonesia, di bagian sastra atau novel, maka orang akan mendapati berbagai macam judul karya sastrawan Inggris, William Shakespeare. Namun, ironis, naskah Nusantara seperti 'Babad Diponegoro' malah tidak ada sama sekali.

"Terbit di Malaysia dan terbit di Belanda. Di Indonesia belum ada, harus diterbitkan kembali," imbau sejarawan lulusan Trinity College Oxford dan Universitas Cornell, AS ini.

Sedangkan untuk diakui UNESCO, naskah versi kisah tutur langsung dari Diponegoro, mantan Mendikbud Wardiman Djojonegoro dibantu Prof Peter Brian Ramsey Carey dari Trinity College, Oxford, Inggris, yang juga adjunct professor Fakultas Ilmu Budaya UI, mencari naskah asli 'Babad Diponegoro' hingga Belanda. Akhirnya naskah 'Babad Diponegoro' berhasil diterima UNESCO sebagai memori kolektif dunia tahun 2012 dan disahkan tahun 2013.

Sementara dalam situs UNESCO, 'Babad Diponegoro' adalah otobiografi pertama dalam sastra Jawa modern dan menunjukkan sensitivitas yang luar biasa atas kondisi dan pengalaman lokal saat itu.

Peter Carey memaparkan 'Babad Diponegoro' adalah otobiografi dan perjalanan hidup Pangeran Diponegoro yang ditulis selama masa pengasingannya di Manado pada 1831-1832. Namun Diponegoro tak menulisnya sendiri, dia menuturkannya kepada seorang juru tulis.

Isi 'Babad Diponegoro' itu, Carey menambahkan, semacam puisi yang tebalnya 1.170 halaman folio. Dalam folio itu ada sejarah nabi, Pulau Jawa dari zaman Majapahit hingga perjanjian Giyanti (Mataram). Yang menarik, otobiografi Diponegoro ini diceritakan dari sudut pandang orang ketiga meski sejatinya menceritakan diri sendiri.

Diponegoro, imbuh Carey, mengibaratkan otobiografinya itu seperti Bahtera Nuh, yang menampung semua budaya Jawa agar bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Tujuannya, supaya tidak melupakan jati diri.

"Setelah dia meninggal, naskah ini diambil dan diterjemahkan oleh Belanda. Karena ini bisa menjelaskan pikiran pribumi. Bagi seorang sejarawan, Bapak Diponegoro adalah sumber bagi sejarawan yang sangat berbobot dan menarik," jelas Carey di dalam acara penyambutan pengakuan UNESCO di Aula Gedung A lantai 2, Kemendikbud, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (3/7/2013) lalu.

(nwk/ndr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads