Fenomena caleg stres pasca pemungutan suara kembali terjadi pada pemilihan umum tahun ini. Ahad (13/4/2014) kemarin Pondok Pesantren Berojomusti Lamongan, Jawa Timur kebanjiran puluhan pasien dari para caleg yang depresi atau stres lantaran gagal menjadi anggota DPR.
Pondok Pesantren Balerante, Palimanan, Cirebon di Jawa Barat juga mengalami hal yang sama. Ada belasan politisi yang datang karena depresi akibat tak lolos ke Senayan. Kelakukan para caleg stres juga beraneka rupa.
Ada yang tak berani pulang ke rumah karena belum membayar uang untuk saksi, mengamuk, sampai meminta kembali uang sumbangan saat kampanye.
Dua kali pemilihan umum selalu menghasilkan caleg stres. Apa yang salah, sistem pemilihan umum atau caleg yang bertarung?
Caleg dari Partai Demokrat Nova Riyanti Yusuf menyebut sistem pemilihan umum tahun ini memicu terjadinya persaingan tidak sehat di antara para caleg. Sistem suara terbanyak memaksa mereka mengeluarkan dana jor-joran selama masa kampanye. Wal hasil ketika gagal terpilih, peluang para politisi itu mengalami gangguan kejiwaan cukup tinggi.
Stres tak hanya menimpa politisi yang dipastikan gagal ke Senayan. Namun juga caleg yang tengah menunggu hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum. Pada tahap pengalihan data dari TPS ke Kecamatan menurut dia peluang terjadinya kecurangan cukup tinggi.
Belum lagi hak caleg untuk mendapatkan data di Form C1 tak mudah. Melihat keruwetan proses pasca Pileg, perempuan yang biasa dipanggil Noriyu itu memutuskan untuk lebih cepat meninggalkan daerah pemilihannya. Dia maju sebagai caleg di dapil Jawa Timur VI, yang wilayahnya meliputi Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Blitar.
"Bisa gangguan juga lama-lama (saya) jadi paranoid. Lebih baik saya kembali berfungsi normal," kata Noriyu saat berbincang dengan detikcom, Rabu malam (16/4/2014).
Namun anggota Komisi Pemilihan Umum Sigit Pamungkas mengatakan fenomena caleg stres bukan karena pemilu yang menggunakan sistem terbuka. Menurut dia caleg stres karena gagal terpilih lebih disebabkan kurang dewasanya mereka menerima kekalahan.
Seharusnya, menurut dia, para caleg ini sadar Pemilu adalah seperti kompetisi yang melahirkan pemenang dan kalah. "Sebagai calon wakil rakyat, mereka harusnya bisa dewasa. Kedewasaan mereka berkurang," kata Sigit di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Senin (14/4/2014) lalu.
(erd/van)