"Permasalah utama disparitas putusan itu juga terletak pada peraturan bersama tentang panduan penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim yang dibuat oleh Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY)," kata peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar, saat dihubungi detikcom, Selasa (12/11/2013).
Menurut Erwin, putusan MKH tersebut memang terkesan cukup jomplang. Namun harus dilihat kembali apa yang tertulis dalam peraturan bersama antara MA dan KY tentang hakim yang terlibat praktek penyuapan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sanksi sedang antara lain penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun, penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji berjala paling lama 1 (satu) tahun, penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 tahun, hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan, mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih rendah dan pembatalan atau penangguhan promosi.
"Jika mengacu pada peraturan tersebut, masuk akal kiranya MKH memutuskan hakim yg menerima suap tidak dipecat, karena peraturan bersama mengatur demikian," jelas Erwin.
Erwin mengatakan, ranah etik dan pidana memang dua hal yang berbeda. MKH sendiri ada dalam ranah penegakkan kode etik.
"Kita tidak bisa mengasumsikan jomplangnya putusan MKH dari kacamata hukum pidana, namun juga perlu melihatnya dari poin-poin etik apa saja yang telah dilanggarnya," tuturnya.
(rna/asp)