Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) menilai hal tersebut karena akses publik terhadap putusan masih sulit.
"Akar dari permasalahan putusan-putusan aneh ini adalah masih sulitnya putusan-putusan pengadilan bisa diakses publik," kata peneliti ILR Erwin Natosmal Oemar, saat dihubungi, Jumat (8/11/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kondisi abnormal ini, menurut pandangan saya, memang sengaja dipelihara dan dipertahankan guna mengamankan budaya transaksaksional di MA," ungkap Erwin.
"Jika MA masih sulit untuk akuntabel dalam mengeluarkan putusannya sehingga tidak terpantau oleh publik, selama itu pula lah akan muncul putusan-putusan aneh dari MA," lanjutnya.
Terkait kasus putusan guru SD penyodomi empat siswa, dalam pertimbangannya, majelis kasasi yang terdiri dari Prof Dr Takdir Rahmadi, Prof Dr Rehngena Purba dan Soltoni Mohdally menyebutkan hukuman akan dijatuhkan selama 6 tahun, tetapi di amarnya tiba-tiba berubah.
"Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun," ucap majelis dalam vonis yang dijatuhkan 2 September 2010 lalu.
Hal lain juga terjadi saat MA mengadili kurir narkoba internasionel Franco Holynski. Di tingkat kasasi, Franco awalnya mau dihukum penjara seumur hidup, seperti tertuang dalam pertimbangan majelis. Tetapi dalam amarnya dijatuhi 20 tahun penjara.
"Tidak ada kejanggalan, tidak ada. Dan di mana-mana yang di tanda tangan itu putusan," ujar Kabiro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur atas kejanggalan vonis Franco.
(rna/asp)