Abad Ini Separatisme Ditinggalkan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Abad Ini Separatisme Ditinggalkan

Rabu, 06 Nov 2013 07:50 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Den Haag - Setiap bangsa pada prinsipnya ingin menentukan nasib sendiri, merdeka, lepas dari penindasan yang menjurumuskan mereka ke dalam jurang kesengsaraan, seperti Soekarno mengutip sastrawan Jerman Freiligrath dalam pleidoi Indonesia Menggugat: Man ttent den Geist nicht! (Semangat tidak dapat dibunuh!).

Apa dasar hukum yang menjadi landasan semangat kemerdekaan ini? Ialah pasal tentang zelfbeschikkingsrecht, hak penentuan nasib sendiri, yang merupakan suatu prinsip pokok dalam hukum internasional modern (jus cogens), yang mengakar pada Piagam Atlantik 1941. Pasal ini memang menyatakan bahwa semua kaum-kaum manusia mempunyai hak untuk menentukan pemerintahannya sendiri, tapi ia tidak menyatakan caranya! Kesimpulannya adalah baik melepaskan diri (merdeka), federasi maupun otonomi mampu memberi hak menentukan nasib sendiri.

Pada fajar abad 21 ini dunia telah mengalami suatu tendensi yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu pembentukan blok atau blokvorming. Bukan blokvorming seperti pada zaman perang dingin yang bersifat bermusuhan, tetapi lebih bersifat kerjasama. Sebaliknya staatsvorming atau pembentukan negara (baca: separatisme) adalah semangat masa lalu abad ke-20. Pada abad ke-21 sekarang ini Uni Eropa memperkuat bloknya bukan hanya ekonomi tetapi juga politik dan semakin menambah anggota, ASEAN ingin menjadi common market dan Mercosur (perserikatan negara-negara Amerika Latin) juga telah mengesahkan parlemenya mewakili bangsa-bangsa dari seluruh benuanya. Bangsa-bangsa di dunia ingin bekerjasama!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dan kelompok-kelompok separatis seperti GAM, ETA (Spanyol), IRA (Irlandia Utara), MILF (Filipina) sadar dan insaf tendensi itu. Bandingkan dengan gerakan Papua merdeka, gerakan-gerakan separatis di atas jauh lebih mengalami tangan besi dan kerasnya konfrontasi fisik dengan negara-negara oponen mereka. Pada sisi lain misalnya, kondisi Aceh sama dengan Mindanao, dua-duanya dikaruniai dengan kekayaan alam melimpah dan menghadapi jurang besar kesejahteraan antara pusat dan daerah. Tetapi seperti diketahui GAM, ETA, IRA dan MILF pada awal abad 21 ini telah memutuskan untuk tidak melepaskan diri menjadi negara sendiri. Tidak! Mengingat tendensi tersebut mereka lebih memilih otonomi, karena mereka tidak ingin ketinggalan zaman kerjasama, tidak ingin ketinggalan zaman perdagangan dunia dan pertukaran pengetahuan global.

Jika gerakan-gerakan besar separatis dunia telah mengubur senjata, sudah realistis, riil dan rasional terhadap masa depannya, apa tidak sebaiknya sebagian saudara-saudara kita di Papua bersama-sama membangun daerahnya dengan demokrasi, otonomi dan bersama bangsa-bangsa lain di kawasan mempromosikan demokrasi seperti pada Bali Democracy Forum yang telah diakui dunia, memajukan perdamaian, ekonomi serta perdagangan menuju kesejahteraan? Mari melihat sekeliling, lupakan senjata.

Keterangan penulis:

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi pada Universitas Erasmus Rotterdam, Belanda.


(es/es)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads