Wakil Kepala PPATK Agus Santoso mengatakan, biasanya pejabat memiliki perusahaan yang digunakan untuk menampung dana ilegal. Dilihat dari aliran dananya, perusahaan tersebut tak memiliki arus kas debet-kredit yang sesuai.
"Jauh lebih besar dana masuknya daripada dana keluar untuk operasionalnya," kata Agus saat berbincang dengan detikcom, Jumat (1/11/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketidakwajaran lainnya tentu saja perusahaan itu hanya mengerjakan proyek-proyek pemerintah atau pmda yang ada kaitan dengan oknum pejabat. Namun pada umumnya, proyek dikerjakan oleh orang lain.
"Di-sub-kontrakkan pada perusahaan kecil-kecil dengan harga jauh lebih murah," sambung Agus.
Ciri lainnya, kata Agus, dalam proses mendapatkan proyek, ada calo yang berkeliaran. Makelar ini biasanya berkedok pengusaha, lebih sering bertransaksi dengan rekening pribadi, bukan menggunakan rekening perusahaan. "Ini tentu sangat aneh kan?" tanya pria berkumis ini.
Bila sang pejabat memiliki kroni pengusaha, maka akan tampak transaksi keuangan antara perusahaan kroni itu. Namun transaksinya tidak jelas.
"Misalnya ada transfer dana secara rutin setiap bulan dengan jumlah cukup besar dari usaha percetakan ke perusahaan kontraktor dan sebaliknya. Tentu ini transaksi yang janggal. Apa hubungannya percetakan buku sekolah dengan kontraktor jembatan?" paparnya.
Karena itu, pensiunan Bank Indonesia (BI) ini mengimbau para pejabat tidak bermain-main dengan korupsi dan pencucian uang. Ancaman hukuman berlapis bisa menanti mereka. Mulai dari pelaku aktif alias koruptor, fasilitator hingga penerima pasif bisa dijerat dengan hukum.
"Walaupun cuma menerima, dia akan dimintai pertanggungjawaban hukum, karena dianggap sebagai penadah uang haram dana ilegal!" tegasnya.
Selain itu, pria berkumis ini juga mengingatkan bahwa UU TPPU membuka kemungkinan pembuktian terbalik. Bila terdakwa tidak bisa membuktikan, dia akan dijerat pidana dan hartanya bisa dirampas untuk negara.
Nah, temuan PPATK ini juga sejalan dengan investigasi aliansi LSM Banten. Mereka menemukan modus yang diduga dilakukan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, adiknya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dan anggota dinasti politik lainnya.
"Wawan menempatkan sejumlah nama pengusaha di lingkungan Pemprov Banten, Pemkab Pandeglang, Pemkot Tangsel," kata Uday Syuhada, koordinator Aliansi Independen Peduli Publik (Alip) saat berbincang, Jumat (1/11/2013).
Tiga nama orang dekat Wawan yang sudah dicegah KPK ke luar negeri, seperti: Yayah Rodiah, Dadang Prijatna, Muhamad Awaludin, diduga pemain tersebut. Yayah duduk sebagai kasir dan Awaludin bertugas dalam pembukuan kas perusahaan. Sementara Dadang bertugas untuk mengurus proyek-proyek Pemprov Banten yang ditangani perusahaan. Dia juga bertugas mengurus potongan 20% dari total anggaran setiap proyek yang digarap.
Diduga kuat, Wawan juga memiliki partner di DPRD Banten. Bahkan dia bisa mengatur penempatan jabatan tertentu dengan kewenangan kakaknya.
"Sudah jadi rahasia umum Wawan adalah sebagai pejabat swasta. Bisa menentukan posisi strategis di dinas-dinas basah," terangnya.
Karena itu, Uday berharap KPK mengusut tuntas dugaan korupsi di Banten ini. Tak hanya kasus suap terhadap Akil Mochtar saja, namun seluruh penyelewengan yang merugikan rakyat Banten.
"Rakyat Banten sudah sangat tersakiti melihat Lamborghini Wawan dan harta-harta Atut yang melimpah," pesan Uday.
Pihak Atut dan Wawan belum mau memberikan konfirmasi soal ini. Begitu pun juga dengan istri Wawan, Airin Rachmi Diany, yang selalu diam saat diberondong pertanyaan soal kasus sang suami.
(mad/nrl)