Kesiapan Indonesia Menghadapi Liberalisasi Penerbangan ASEAN 2015
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

Kesiapan Indonesia Menghadapi Liberalisasi Penerbangan ASEAN 2015

Senin, 28 Okt 2013 10:45 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Liberalisasi penerbangan di ASEAN atau ASEAN Open Sky Policy 2015 akan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2015. Pertanyaan publik: siapkah Indonesia? Apa saja yang akan-sedang-sudah dilakukan? Baik oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan (DJU) selaku regulator, Maskapai penerbangan dan Bandara selaku pelaku bisnis dan publik selaku konsumen?

Rapor DJU di dunia penerbangan sipil internasional masih merah. Buktinya antara lain, sampai hari ini Uni Eropa (EU) belum melepas larangan terbang pesawat dengan kode PK melintas di wilayah udara EU (kecuali Garuda, Mandala, Airfast dan Premier Air), Amerika Serikat melalui FAA (Federal Aviation Administration) juga masih melarang semua pesawat dengan kode PK mendarat benua Amerika, dan yang terakhir minimnya dukungan bagi Indonesia untuk duduk di Dewan ICAO (International Civil Aviation Organization) Part 3 pada Sidang ICAO di Montreal awal bulan ini.

Banyaknya persoalan di regulator, bandara, maskapai penerbangan dan penumpang yang melanggar aturan peradaban keselamatan penerbangan sipil membuat citra penerbangan Indonesia semakin suram di mata dunia penerbangan internasional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Munculnya kasus lalu lalangnya manusia, hewan dan kendaraan bermotor di landasan beberapa bandara; kasus masih banyaknya bandara yang tidak dilengkapi alat navigasi untuk pendaratan malam; kasus pembukaan paksa pintu pesawat oleh penumpang ketika pesawat sudah block off sampai kasus mengamuknya penumpang di bandara Soekarno-Hatta karena pesawat delay hingga 5 jam lebih merupakan bukti yang sulit dihindari dari pantauan ICAO dan FAA.

Pertanyaannya, apakah dengan kondisi tersebut Indonesia siap berkompetisi dengan regulator, bandara, maskapai penerbangan dan konsumen negara-negara tetangga di ASEAN, khususnya Singapore, Malaysia, Thailand dan Vietnam ? Mari kita bahas dengan santai.

Antara Kesiapan dan Persoalan Indonesia

Kecelakaan penerbangan sipil atau accident memang sudah menurun jika dibandingkan dengan periode tahun 2006 - 2009, namun insiden terus meningkat. Dengan pertumbuhan penumpang rata-rata di atas 20%/tahun, semua pihak harus bekerja sangat keras supaya pertumbuhan bandara, pesawat dan navigasi udara bisa memenuhi pergerakan penumpang yang terus meningkat secara tajam.

Dari sisi regulator, kita perlu regulator yang disegani namun tidak menghambat karena menerapkan aturan yang rumit diluar yang dikenal di dunia penerbangan sipil, rajin membuat aturan dan tegas dalam melaksanakan (tanpa ada agenda tersembunyi) sesuai pertumbuhan dunia penerbangan nasional, serta tidak lagi bertindak sebagai proyektor tapi serahkan semua proyek pengembangan infrastruktur pada BUMN infrastruktur dan logistik yang ada.

Ketidaktegasan DJU juga berpengaruh pada manajemen slot penerbangan yang masih primitif sehingga kepadatan bandara di prime time, yakni antara pukul 05.00 - 10.00 dan pukul 16.00 - 20.00 semakin membuat publik was-was. Di luar itu sebenarnya slot masih relatif longgar. Namun sulit mengatur terbang tengah malam karena masih banyak bandara di Indonesia yang sudah tutup operasi pukul 18.00 karena persoalan kelengkapan navigasi untuk operasi penerbangan malam hari.

Dari sisi Navigasi Udara yang saat ini dikendalikan oleh Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI), Indonesia masih tertinggal dengan Negara ASEAN lain, baik hardwares maupun softwares. Jadi jangan bermimpi sanggup mengambil alih Flight Information Region (FIR) sektor C di atas Natuna yang lalu lintasnya super padat dan saat ini masih dikendalikan oleh Singapura.

Dari sisi kesiapan dan kenyamanan bandara, Indonesa tertinggal jika dibandingkan dengan pertumbuhan maskapai penerbangan dan jumlah pesawat terbang yang ada. Banyak bandara yang sudah melebihi kapasitas, sehingga terlihat kumuh dan suram. Mau diperluas terkendala oleh dana dan persoalan pertanahan.

Dari sisi operator penerbangan, jumlah pesawat baru atau berusia di bawah 5 tahun terus bertambah, bahkan Indonesia merupakan pembeli terbesar pesawat di dunia. Baru-baru ini Lion Air pun kembali menandatangani pembelian 30 pesawat Bombardier jenis C 300 dengan kapasitas 150 seats.

Dari sisi penumpang, hanya sekitar 14% orang Indonesia yang sudah pernah naik pesawat udara dari 250 juta penduduk Indonesia. Jadi potensinya masih luar biasa. Namun pola dan tingkah penumpang ini masih jauh dari paham terhadap tata cara naik pesawat udara.

Para penumpang pesawat udara masih perlu diedukasi secara bertahap dan berkelanjutan. Tingkah laku mereka, apapun alasannya sangat membahayakan operasi penerbangan sipil. Misalnya menyandera pesawat (kasus Batavia Air di Soekarno-Hatta), merusak check in counter dan fasilitas di beberapa bandara hingga membuka paksa pintu ketika proses terbang sudah berlangsung merupaka contoh-contoh yang membuat rapor penerbangan sipil kita buruk dimata dunia penerbangan internasional.

Tanpa dipahami oleh publik, semua persoalan penerbangan di Indonesia dicatat secara real time oleh ICAO dan atau FAA dengan tinta merah dan ini bukti bahwa industri penerbangan kita masih primitif. Lalu apakah dengan persoalan seperti diatas kita siap menghadapi, khususnya 4 negara ASEAN yang menjadi pesaing kita?

Jadi Harus Bagaimana?

Jawabannya harus siap, apapun alasannya! Berdasarkan beberapa uraian di atas, untuk menghadapi ASEAN Open Sky Policy 2015 hanya 2 maskapai nasional yang sanggup menghadapi ASEAN Open Sky Policy 2015. Si Merah akan siap bertarung dengan si Merah dari tetangga sebelah.

Sedangkan si biru setelah mendapat banyak pengakuan Internasional, akan siap juga bersaing asalkan tetap waspada, jangan salah ambil rute dan salah pilih jenis pesawat. Sedangkan maskapai lainnya kita lihat perkembangannya dalam 1 tahun ke depan. Pilihannya hanya 2, yaitu tutup atau merger karena persaingan menjadi akan sangat ketat.

Untuk DJU, sebaiknya bekerja keras untuk segera membereskan berbagai regulasi yang dapat melindungi penerbangan nasional tanpa harus dituduh melanggar WTO. Berpikirlah keras dan cerdas tanpa ada agenda komersial pribadi/golongan yang akan menghambat peran Indonesia di dunia penerbangan internasional. Kasus tak kunjung diberikannya izin bagi Citilink untuk terbang ke Australia merupakan contoh lambannya DJU bekerja membersihkan wajah buruk penerbangan sipil kita.

DJU harus segera membebaskan Indonesia dari larangan terbang di Uni Eropa dan Amerika Serikat sebelum 1 Januari 2015. Waktu terus berjalan, jika DJU tidak optimal bekerja, sulit bagi Indonesia mempunyai bandara, navigasi, dan maskapai yang kuat dan siap bersaing di ASEAN. Begitu pula penumpang juga harus terus diedukasi supaya tidak melakukan hal-hal yang memalukan dan melanggar aturan keselamatan penerbangan sipil yang ada. Ingat! 2015 tinggal setendangan bola.

AGUS PAMBAGIO

* Pengamat kebijakan publik

(nrl/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads