ICAO sebagai Organisasi Penerbangan Sipil Internasional yang merupakan sebuah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang melaksanakan pengembangan teknik dan prinsip-prinsip navigasi udara internasional, membantu perkembangan perencanaan angkutan udara internasional serta merupakan kiblat dari semua organisasi penerbangan Internasional.
Alasan Indonesia ingin kembali menjadi Council ICAO Part 3, setelah keluar saat ada krisis keuangan di Indonesia, adalah supaya bisa berperan lebih aktif dan dapat berkontribusi dalam penyusunan kebijakan penerbangan sipil internasional yang menjadi acuan seluruh dunia. Dengan menjadi Council, Indonesia akan mempunyai peran besar dalam mengusulkan sebuah kebijakan yang juga akan bermanfaat bagi industri penerbangan nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Strategi Perang yang Lemah
Bagi Indonesia, kembali menjadi anggota Dewan (Council) ICAO Part 3 hukumnya wajib. Sehingga untuk menuju kesana, Pemerintah seharusnya benar-benar fokus dan all out. DJU sebagai regulator teknis sektor penerbangan dan Direktorat Jenderal Multilateral (Ditmul) Kementerian Luar Negeri, sebagai institusi yang bertanggungjawab terhadap perundingan dalam kerangka kerjasama multilateral harusnya sejak awal saling mengisi dalam multilateral lobi jauh sebelum sidang berlangsung.
Ditmul berdasarkan pantauan Penulis sudah melakukan cukup banyak langkah-langkah diplomasi melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di seluruh dunia, khususnya yang menjadi anggota PBB dan ICAO. Sementara upaya Kementrian Perhubungan belum terlihat serius, baik melalui atase Perhubungan di beberapa negara kunci, seperti Belanda, USA, Jepang, Singapore dll maupun perwakilan Indonesia di ICAO, Montreal.
Seharusnya Atase Perhubungan aktif melakukan lobi, karena tugas utamanya memang lobi. Lobi tidak bisa hanya berlandasan pada cakap-cakap. Lobi harus mempunyai alat lobi yang bisa berupa positioning paper, laporan perkembangan terkini penerbangan nasional, atau berbagai dokumen lain baik tulisan atau audio visual dan sebagainya.
Mengapa saya katakan Kemenhub belum optimal? Bagaimana para anggota ICAO akan mendukung Indonesia untuk duduk dalam Council Part 3 jika dua kendala besar belum bisa dituntaskan oleh DJU. Kendala tersebut adalah larangan terbang pesawat Indonesia dengan Kode PK (kecuali Garuda, Mandala, Premiair dan Airfast yang sudah bebas tahun 2009) oleh Uni Eropa.
Kedua, Federal Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat masih menempatkan penerbangan Indonesia di Katagori 2 atau dilarang terbang melintasi wilayah udara Amerika. Berdasarkan investigasi saya langsung ke Brussels Belgia terkait larangan terbang Uni Eropa dan Washington DC terkait katagori 2 FAA, terlihat bahwa lobi DJU belum optimal. Misalnya, belum terlihat kegiatan lobi yang terorganisasi antara Wakil Indonesia di ICAO dengan Atase Perhubungan RI di Washington DC. Begitu pula dengan upaya lobi Atase Perhubungan RI di Den Haag. Padahal dua persoalan besar ini yang harus digarap terlebih dahulu oleh DJU sebelum mengajukan diri menjadi anggota Council Part 3 ICAO.
Sudah tahu lobi masih lemah, namun jumlah delegasi Indonesia ke Sidang ICAO lalu di Montreal sangat besar. Total ada 44 orang, di antaranya 23 orang dari Kemenhub Jakarta, sisanya dari Kemenlu dan KBRI Ottawa. Pemantauan saya di Montreal, selain ada Menteri Perhubungan (Ketua Rombongan) ikut pula beberapa pejabat Kemenhub, pejabat KBRI Ottawa dan Kemenlu. Anehnya dalam rombongan ikut pula Ketua Komisi V DPR-RI. Apa kira-kira tugas politisi dalam perundingan teknis multilateral seperti ini ya?
Delegasi Indonesia termasuk yang terbesar setelah Amerika (64) dan Korea Selatan (48). Namun mereka punya kursi di Council. Jadi sesuai dengan anggaran dan keringat yang dikeluarkan. Burkina Faso (9 orang), Bolivia (7 orang), Libya (7 orang), Kenya (12 orang) dengan delegasi minimalis saja mendapatkan kursi di Council Part 3 ICAO, padahal tidak dipimpin oleh Menteri Perhubungannya dan membawa pimpinan Parlemen seperti Indonesia.
Saya tidak heran ketika pukul 03.10 WIB (14.00 waktu Montreal) Indonesia mendapatkan suara hanya 97 dan satu-satunya dari 14 calon yang tidak dapat kursi di Part 3.
Hikmah yang Diambil dan Saran
Kalau mengikuti langkah-langkah Kemenhub terkait kepentingan penerbangan sipil Indonesia, tidak heran jika kita selalu mendapatkan suara terendah dalam voting di Sidang ICAO ke-38 lalu. Saran saya, jika kelak melakukan negosiasi dan lobi multilateral lagi, sebaiknya semua permasalahan pokok (seperti kasus larangan terbang EU dan FAA) sudah 100% selesai. Begitu pula dengan persoalan lain, seperti follow up hasil audit ICAO, juga harus sudah diperbaiki termasuk Corrective Action Plan-nya.
Jika penghalang terakhir untuk duduk kembali di Council Part 3 adalah Malaysia, maka harus ada strategi penggalangan suara mengalahkan Malaysia yang minimal didukung oleh negara persemakmuran. Investigasi dan lobi harus sudah dijalankan jauh-jauh hari sebelum sidang pleno ICAO Part 3 berlangsung. Termasuk meminta dukungan industri pesawat terbang (Boeing, Airbus dan Bombardier) karena Indonesia merupakan salah satu pembeli terbesar mereka. Dan upaya-upaya strategis lainnya.
Koordinasi antara Kemenhub dengan Kemenlu dalam melakukan lobi multilateral perlu diperbaiki. Begitu pula dengan kinerja perwakilan Kemenhub di luar negeri. Segera evaluasi kinerja mereka, jika tidak efektif, tidak ada salahnya diganti dengan pejabat yang lebih paham teknis dan berkomunikasi strategis dengan mitra kerja di negara mereka bertugas.
Yang terakhir, hindari maju ke perundingan multilateral yang strategis dengan rombongan piknik yang jumlahnya besar dan tidak jelas fungsi serta tugasnya. Apalagi ketika mereka tidak yakin menang perang. Saya catat masing-masing peran pejabat saat ada di Montreal lengkap dengan foto kegiatan sebagai bekal saya memantau kerja DJU.
Semoga peran aktif publik mengawasi kerja pejabat mengurus Negara tanpa menggunakan APBN ini bisa memberikan sumbangan kecil untuk memperbaiki kinerja pejabat kita demi Indonesia yang lebih cerdas.
*) Agus Pambagio, Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
(nwk/nwk)