Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengingatkan AS bahwa pernyataan yang "berubah-ubah dan bertolak belakang" akan merusak kepercayaan. Zarif pun menyerukan Washington untuk menunjukkan konsistensi dalam berurusan dengan Iran guna meraih kepercayaan.
"Presiden Obama harusnya menghindari kontradiksi guna meraih kepercayaan rakyat Iran. Sikap berubah-ubah dan bertolak belakang akan merusak kepercayaan dan mendiskreditkan AS," cetus Zarif seperti dilansir Press TV, Rabu (2/10/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya telah mengatakan sebelumnya dan saya akan mengulangi bahwa kita tak mengesampingkan semua opsi, termasuk opsi militer," cetus Obama.
Bahkan dikatakan Obama, Iran menginginkan negosiasi diplomatik atas program nuklirnya dikarenakan sanksi-sanksi yang diterapkan AS terhadap iran.
Zarif pun mengecam pernyataan Obama itu. "Prasangka Presiden Obama bahwa Iran telah memasuki negosiasi dikarenakan ancaman-ancamannya dan sanksi-sanksi ilegal, merupakan penghinaan bagi sebuah negara, dan bersifat menggertak dan keliru," tegas pejabat tinggi pemerintah Iran itu.
Zarif mengkritik statemen-statemen Obama yang disebutnya "benar-benar tak bisa diterima itu". Namun ditambahkannya: "Kami tak akan membiarkan Netanyahu memutuskan masa depan negosiasi kami."
Beberapa hari sebelumnya, Obama melakukan komunikasi bersejarah dengan Presiden baru Iran Hassan Rowhani. Percakapan via telepon itu merupakan kontak langsung pertama antara pemimpin kedua negara sejak Revolusi Islam pada tahun 1979 silam.
"Baru saja saya berbicara di telepon dengan Presiden Republik Islam Iran, Rowhani. Kami berdua membahas tentang upaya-upaya kami yang tengah berlangsung untuk mencapai kesepakatan mengenai program nuklir Iran," kata Obama seperti dilansir kantor berita AFP, Sabtu (28/9/2013).
"Fakta bahwa ini komunikasi pertama antara presiden Amerika dan Iran sejak 1979, menekankan adanya ketidakpercayaan yang mendalam antara negara-negara kita, namun juga mengindikasikan prospek untuk melangkah maju dari sejarah sulit itu," tutur Obama.
Obama menggambarkan pembicaraannya dengan Rowhani sebagai "kesempatan penting dalam kebijakan luar negeri Washington."
(ita/ita)