Tapi, dua pekan berselang, optimisme mereka mulai mengendur. Pembeli tak kunjung datang. Kalaupun agak ramai hanya sampai lantai 2. Bahkan Senin siang kemarin ketika detikcom menyambangi, di lantai 3 banyak terlihat kios yang tutup.
Di kios yang tetap buka, tak ada semangat di wajah penjualnya. Beberapa pedagang malah tidur-tiduran, memandang jalanan atau duduk sembari ngobrol sesama pedagang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Andri, 30 tahun, seorang pedagang yang juga menjual pakaian jadi pun menyatakan hal serupa. Dia mengungkapkan selama 10 hari jualan, belum ada satu pun barangnya yang terjual. “Makanya banyak yang lebih memilih menutup kios, malas bukanya. Ini saja jam 3 nanti sudah banyak yang tutup,” kata Andri.
Keluhan juga dilontarkan Rizal, 39 tahun. Bahkan bekas pedagang kaki lima di depan Stasiun Tanah Abang ini mengaku sudah membanting harga demi mencari pelanggan. “Kita sampai kasih harga modal tapi selama jualan di sini baru laku dua potong,” aku Rizal seraya menyebutkan sejak setelah Lebaran lalu sampai sekarang belum ada keuntungan sedikit pun.
Seperti kebanyakan pedagang di lantai 3, Zulfitra, 45 tahun, memilih menutup kiosnya lebih awal. “Sekarang saya mending tutup jam 3 sore dan menarik angkot supaya ada penghasilan tambahan," ujar pedagang rok muslim ini. "Dari hasil jualan pendapatan saya tak bisa diandalkan," kata Zulfitra meneruskan.
*****
Sedikitnya jumlah pembeli di Blok G, khususnya di lantai 3, membuat para pedagang berteriak. Mereka ramai-ramai membandingkan jumlah pendapatannya dengan saat masih berjualan di kaki lima. Nurmailis mengatakan dulu saat masih berdagang kaus dan celana anak-anak di pinggir jalan sehari minimal mengantongi Rp 500 ribu. Jumlah itu melonjak hampir tiga kali lipat saat bulan puasa.
“Sekarang paling banyak sehari laku cuma 10 potong, itu juga kebetulan pas hari Minggu,” kata dia yang menjual per potong rata-rata Rp 15 ribu. “Sekarang bagai langit dan bumi dibanding pendapatan dulu saat masih di depan sana,” kata Mustafa, suami Nurmailis, menimpali.
Depan yang dimaksud Mustafa adalah lokasi kaki lima tempat mereka berdagang sebelum digusur dan ditertibkan. Areal bahu jalan dan trotoar yang ada di seberang Blok G mereka manfaatkan untuk menggelar aneka barang dagangan. Pembelinya memang sangat banyak yang biasanya mudah mengakses mereka saat turun dari kendaraan. Tak perlu menyeberang atau naik tangga.
Senada, Zulfitra mengaku penjualannya saat di kaki lima bisa hampir Rp 3 juta setiap hari. Meski banyak pungutan liar dan harus berpanas-panasan, ia lebih senang di kaki lima sebab jumlah pendapatannya cukup menjanjikan. “Makanya omzet kita jangan ditanyalah, jauh sekali bedanya, bisa 1:100 dengan sebelum ke sini,” kata Zulfitra.
“Kios saya sekitar satu setengah meter dulu, bayar ke preman Rp 600 ribu sebulan, tapi pembelinya banyak yang orang-orang pinggiran yang mau kreditkan barang mudah mengakses kita saat turun dari bus,” ujar dia.
(brn/brn)