Kepala Bidang Kesehatan Haji, Fidiansyah, menjelaskan telemedicine merupakan sebuah perangkat di mana dokter spesialis yang ahli tidak perlu berada di tempat.
"Cukup alatnya saja yang dipasang di sebuah tempat pengobatan, dan dari tempat tersebut, dokter praktik bisa mendapatkan laporan dari ahlinya di BPHI," kata Fidiansyah seperti dikutip dari Media Center Haji (MCH) di BPHI Daker Makkah, Khalidiyah, Selasa (17/9/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kata dia, telemedicine baru akan diujicobakan di satu tempat pada tahun ini. βKita sedang melihat sektor mana yang paling banyak jamaahnya dan susah akses transportasinya. Itu yang kita pilih,β kata Fidiansyah.
βKalau cara ini efisien dan efektif dalam menurunkan angka kematian, karena tindakan bisa dilakukan lebih cepat, maka semua sektor ke depan akan kita kuatkan dengan alat ini,β imbuhnya.
Selain telemecine, Fidiansyah menjelaskan BPHI mengembangkan beberapa terobosan lain, yakni menambah tenaga baru, di luar tenaga musiman (TEMUS) dan tenaga evakuasi tanpa alat (TETA) serta merekrut tenaga pengantar obat (TEPAT).
Menurutnya, sektor tidak akan sanggup mengirimkan obat kepada kloter-kloter jika tidak ada tenaga khusus apalagi jika dalam kondisi macet.
Konsep TEPAT menggunakan sepeda motor roda dua atau minimal sepeda, seperti pengantar dalam delivery system. Dengan diantar, kloter tidak akan terhambat oleh masalah pengiriman obat. Dokter kloter cukup mengirim email, nanti sektor yang mendistribusikan.
"Dengan sepeda, kalau macet bisa diangkat sehingga bisa bergerak dengan cepat. Ini tahun ini akan kita uji coba,β jelasnya.
Selain itu, setiap dokter kloter sudah dibekali dengan android untuk sistem pelaporan, baik laporan sakit maupun laporan obat. Jadi dia cukup mengirim email. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi dokter untuk meninggalkan tempat, kecuali karena alasan yang memang sangat penting.
βJadi terobosan ini di antaranya juga untuk mengantisipasi adanya keluhan di sektor bahwa dokter sering tidak ada di tempat,β kata Fidiansyah.
Kedua, koordinasi untuk memperkuat safari wukuf dan badal.
Menurut Fidiansyah, angka kematian jamaah haji Indonesia, 75% terjadi pada Armina dan pasca Armina. Untuk itu, lanjut Fidiansyah, perlu betul-betul dipikirkan mengenai pentingnya seleksi bagi jamaah haji yang masuk kategori bisa disafariwukufkan dan yang cukup dibadalkan.
βJangan dipaksakan jamaah yang sakit untuk manasik sebagaimana umumnya karena itu tidak mungkin,β kata Fidiansyah.
Β βTidak semua yang sakit disafari wukufkan. Kalau yang badal, dibadalkan,β tambahnya.
Namun Fidiansyah menyadari bahwa tidak mudah mengimplementasikan terobosan ini.
βTentu perlu kerjasama dengan para pembimbing ibadah secara intens. Sebab badal itu kan perlu tenaga dan ini yang kami betul-betul meminta bantuan dari Kemenag,β terang Fidiansyah.
BPHI sudah mensosialisasikan terobosan ini kepada para petugas sektor. Bahkan, rencananya pada H - 7 dari wukuf, sudah akan mulai dilakukan klasifikasi siapa yang memenuhi syarat safari wukuf dan siapa yang badal.
βKualifikasi dan persyaratannya sudah kita siapkan,β tegasnya.
Ketiga, membentuk rumah singgah atau satelit BPHI. Rumah singgah ini bertujuan memberikan fasilitas layanan kesehatan pada periode Armina di mana semua jamaah terkonsentrasi di Arafah β Mina dan tidak ada pelayanan di Sektor. Padahal kapasitas BPHI juga sangat terbatas, hanya mempunyai 141 tempat tidur.
Menurut Fidiansyah, dari pengalaman tahun sebelumnya jumlah pasien bisa mencapai 250 orang, meski sebenarnya tidak semua harus dibawa ke BPHI dan cukup dibawa ke sektor.
βKita akan siapkan rumah singgah hingga di Sektor ada tenaga medis yang memantau jamaah sakit tanpa harus merasa diabaikan kebutuhan dasarnya,β terang Fidiansyah.
Keempat, konsep tanazul. Jamaah yang sudah menyelesaikan rukun hajinya namun kondisi fisiknya tidak prima, tidak usah mengukuti rute manasik jamaah lainnya ke Madinah, tapi langsung pulang.
"Ini khususnya bagi gelombang dua yang langsung ke Makkah," ujar Fidiansyah.
(aan/ahy)