Satpol PP, dari Tak Bisa Lebaran sampai Diteror

Beda Satpol PP Dulu dan Kini

Satpol PP, dari Tak Bisa Lebaran sampai Diteror

- detikNews
Rabu, 21 Agu 2013 15:50 WIB
Satpol PP saat menertibkan pedagang di sekitar Stasiun Jatinegara Rabu pekan lalu. (Fotografer - Grandyos Zafna)
Jakarta - Sepekan sudah lebaran berlalu. Namun nuansanya masih terasa lekat dengan banyaknya halal bi halal. Segala rupa-rupa perayaan itu mengingatkan Wahyu Herlambang, 38 tahun, akan malam sebelum lebaran yang tak pernah bisa ia habiskan bersama keluarga.

Sejak diterima di kesatuan Satuan Polisi Pamong Praja Kelurahan Kebagusan, Jakarta Selatan 13 tahun silam perayaan lebaran Wahyu seperti terampas. Dia tak bisa pulang kampung mengunjungi sanak saudara. Ayah tiga anak ini selalu menghabiskan malam takbiran untuk berpatroli di jalanan.

“Namanya Idul Fitri saya harus di kantor karena setiap malam takbiran Satpol PP masuk semua, biasanya kita selalu menyisir ke lapangan,” kata Wahyu saat berbincang dengan detikcom di Pasar Minggu, Jumat (16/8) lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pria yang kini berstatus pegawai negeri sipil golongan 2B itu mengklaim kesatuannya mempunyai jam kerja yang lebih panjang dibanding instansi pemerintah lainnya. Untuk masa kerja dan golongannya, Wahyu digaji Rp 2,6 juta ditambah tunjangan Rp 3 juta.

Tak hanya berkorban waktu dan siap kehilangan momen istimewa, menjadi anggota Satpol PP juga berarti siap berkorban nyawa saat melakukan penertiban di daerah yang rawan.

*****

Berita tentang kerusuhan di Tanjung Priok, lima tahun lalu rupanya tak bisa hilang dari ingatan Sulaiman, 36 tahun. Pria berdarah campuran Jawa Sunda ini masih ingat betul bagaimana takutnya ia saat menyelamatkan diri dari kepungan massa saat melakukan penertiban tak jauh dari areal makam Mbah Priok.

“Istri saya waktu itu sampai bingung dan nangis karena tidak tahu berita kita apakah masih hidup atau tidak, dia telpon ke telepon seluler saya tak bisa tersambung karena memang saat itu sedang lowbat,” kata Sulaiman.

Tangis dan kepanikan istrinya baru bisa mereda saat Sulaiman berhasil dihubungi lewat nomor handphone rekannya. Menjadi anggota Satpol PP, berarti siap dengan risiko besar. Untungnya, ayah dua anak ini mengaku keluarga dan istrinya bisa memahami.

“Istri saya sejak awal nikah sudah saya beri tahu tugas dan kerja saya begini, ya untungnya sudah ngertilah. Dia Cuma mendoakan biar selamat,” kata Sulaiman sambil menyeruput minuman soda bercampur es di gelasnya.

Dia juga mahfum pekerjaannya saat menegakan ketertiban umum sesuai Perda nomor 8 tahun 2007 juga kerap menuai kesal dan benci dari pihak lain yang merasa tergusur.

Meski sejauh ini belum pernah ada perlawanan besar dari masyarakat setelah peristiwa Tanjung Priok, Sulaiman mengaku selalu waspada. Maklum saja, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sedang giat-giatnya melakukan penataan kaki lima dan merelokasi para pedagang tersebut, seperti di PAsar minggu dan Tanah Abang, baru-baru ini.

“Namanya manusia kami pasti tetap ada rasa takut, kalau pas berjaga di sini (pasar minggu) ada yang nodong atau bawa pisau, kan enggak tahu,” Sulaiman

Endang Martoni, 49 tahun pun sadar profesinya bisa mendatangkan banyak musuh. “Satpol PP memang banyak yang kontra. Ya istri dan anak tetap cemas memang tahu ayah mereka kerjanya begini, tapi paling berdoa,” kata dia.
Sebelum berangkat Endang selalu dinasihati sang istri untuk tidak bertindak kasar saat bertugas.

(erd/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads