Seratus meter dari hamparan kios ada warung kopi yang kain penutup jendelanya sengaja dibuka. Warung seluas 5 x 5 meter itu hanya ada beberapa tukang parkir Pasar Ular yang lagi istirahat sambil ngopi. Di belakang toilet di dekat cucian piring warung kopi, seorang pria duduk di kursi plastik sambil membersihkan senapan laras panjang jenis Remington Speedmaster dengan sapu tangan bekas.
Ia ditemani segelas kopi hitam yang baru dipesan yang sengaja ditaruh di rak piring. Sekali-kali ia mengelap barang dagangan itu dengan kaosnya yang berwarna hitam. Wajahnya santai dengan bibir yang menghimpit sebatang rokok. “Jangan sampai kelihatan (polisi). Bisa ketangkep nanti, kita tidak dapat duit deh,” kata warga kelurahan Rawa Badak Selatan, Koja itu kepada detikcom, Rabu (14/8).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pria itu mengaku bernama AN, 38 tahun. Ia sengaja nongkrong di warung kopi langganannya karena ada janji dengan pelanggan. AN mendapat pesanan senapan dari seseorang sejak tiga pekan lalu. Senapan seharga Rp 4 juta ini barangnya baru ada tiga hari setelah Lebaran. Dia mengaku mendapatkan senjata tersebut dari seorang kenalan di Tanjung Priok, atau Tangerang.
Meski sudah 2 tahun menjadi calo senjata api, AN selalu selektif memilih calon pembeli. Apalagi petugas intel kepolisian sering menyamar dengan sekedar bertanya. “Tentu saya pilih-pilih. Tahu lah saya kondisi aman, atau lagi tidak aman,” kata AN.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri, Komisaris Besar Agus Rianto mengatakan, tidak semua orang diperbolehkan membeli dan memiliki senapan angin. Senapan angin hanya boleh dimiliki anggota Persatuan Menembak Indonesia yang mampu menunjukkan kartu keanggotaan pada saat ingin membeli. Penjual wajib melaporkan data pembeli tersebut ke kepolisian.
Agus mengakui banyak senapan angin yang masih bebas diperjual-belikan di Indonesia. Dia berharap bagi warga yang memiliki senapan angin adalah orang yang benar - benar memahami kegunaan dan tujuannya. Sementara terkait pabrik senapan angin di Cipacing, Tasikmalaya, Jawa Barat yang hingga kini masih beroperasi, menurut Agus, pabrik tersebut berada dalam pengawasan dan izin Kepolisian.
"Itu dibawah pengawasan dari kami, ada pengawasannya. Itu kalibernya kecil 4,5 milimeter, itu tidak boleh dari itu, itu untuk olahraga menembak sasaran," kata Agus kepada detikcom. Kriminolog dari Universitas Indonesia Iqraq Sulhin mengatakan selama angka kejahatan masih tinggi, maka penjualan senjata api akan tetap berlangsung terus.
Iqraq menyebut persoalan utama adalah pengawasan dan upaya kontrol yang masih lemah. Mengacu kasus kekerasan di Poso, Ambon, hingga Papua, seharusnya aparat keamanan sadar terkait potensi penyebaran senjata api ke berbagai daerah. Dampaknya pun terasa sekarang karena aksi kejahatan di berbagai daerah sudah terlihat menggunakan senjata api. “Kalau hanya razia menunggu instruksi ya telat karena budaya kejahatan negara kita suka dengan yang barang ilegal,” kata Iqraq, kemarin.
(erd/erd)