Refleksi 8 Tahun MoU Helsinki: Ancaman Aceh ke Depan

Refleksi 8 Tahun MoU Helsinki: Ancaman Aceh ke Depan

- detikNews
Kamis, 15 Agu 2013 09:51 WIB
Jakarta - Tidak terasa penandatanganan MoU Helsinki di Kota Vantaa, Finlandia pada 15 Agustus 2005 sudah berusia 8 tahun. Penandatanganan tersebut mengakhiri konflik berdarah sekaligus jalan terjal yang telah menimpa Aceh sejak tahun 1975. Sebelum ditandatangani MoU Helsinki tersebut, wilayah Aceh juga menghadapi bencana kemanusiaan yang dahsyat yaitu gempa bumi dan tsunami yang konon menewaskan sekitar 400 ribu warga setempat.

Walaupun MoU Helsinki merupakan perjanjian yang dapat menghentikan konflik di Aceh dan juga tercatat sebagai prestasi politik gemilang pemerintahan SBY-Jusuf Kalla, namun setelah 8 tahun penandatanganan tersebut masih ada sejumlah permasalahan krusial di Aceh yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan ancaman bagi Aceh ke depan, termasuk menimbulkan kembalinya instabilitas keamanan di Aceh.

Menjelang peringatan 8 tahun MoU Helsinki, penulis mendapatkan informasi dari teman-teman yang berada di Aceh bahwa direncanakan pada 15 Agustus 2013 mendatang, sekitar 141 ribu anggota Tim Relawan Aceh (TRA) se-Aceh akan menuntut kepada pelbagai pihak yang bertanggungjawab menyangkut realisasi butir-butir MoU Helsinki diantaranya tapal batas dan pengadilan HAM. Menurut mereka, marwah rakyat Aceh yang sempat terkoyak akibat konflik dapat terpulihkan kembali.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalah lainnya yang dapat mengganjal situasi keamanan di Aceh setelah 8 tahun penandatanganan MoU Helsinki adalah rencana pengibaran Bendera Aceh (Bulan Bintang) pada 15 dan 17 Agustus 2013. Permasalahan ini juga sempat dibahas Komisi A DPR Aceh dan Pemerintah Aceh pada 19 Juli 2013 di Gedung DPRA, Kota Banda Aceh, yang dihadiri 15 orang dari DPRA dan perwakilan Pemerintahan Aceh.

Dalam rapat tersebut, memutuskan Bendera Aceh akan dikibarkan beriringan dengan Bendera Merah Putih pada 15 Agustus dan 17 Agustus 2013. Keputusan tersebut berdasarkan hasil pertemuan di Kemendagri pada 12 Juli 2013, bahwa masa cooling down disepakati berakhir pada 14 Agustus 2013. Pihak Pemerintah Aceh mengklaim, Pemerintah Pusat juga tidak mempermasalahkan pengibaran bendera Bulan Bintang, karena yang dilihat adalah peringatan perdamaian dan proklamasi, bukan pengibara benderanya.

Dalam kaitan ini, setiap dinas yang ada di lingkungan Pemerintahan Aceh harus memiliki dua tiang bendera. Sementara itu, Abdullah Saleh yang juga Tim perumus Qanun Bendera dan juga anggota DPRA mengatakan, untuk mempersiapkan pengibaran bendera Aceh pada 15 Agustus 2013 di halaman Kantor Gubernur Aceh, pihak Pemerintah Aceh telah membentuk panitia pelaksana. Pengibaran bendera Aceh ini dimaksudkan untuk menjaga perdamaian Aceh, dan berharap Pemerintah Pusat lebih mengerti dengan pengibaran bendera Aceh ini.

Memanasnya persoalan rencana pengibaran bendera Aceh yang mirip dengan bendera kelompok separatis GAM telah mendapatkan perhatian berbagai kalangan, termasuk mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Dalam acara buka puasa bersama di Restoran Pendopo Gubernur Aceh, Kota Banda Aceh, lelaki asal Makassar Sulsel ini berpendapat, masalah qanun bendera dan lambang Aceh bisa diselesaikan dan merupakan permasalahan kecil. Bendera Aceh bukan bendera separatis, karena saat ini tidak ada lagi separatis.

Sedangkan, Mayjen TNI Zahari Siregar, Pangdam Iskandar Muda dalam kesempatan tersebut menegaskan, tidak ada pengibaran bendera Bulan Bintang pada 15 Agustus 2013. Hal tersebut sesuai dengan perintah dari Gubernur Aceh bahwa tidak ada pengibaran bendera.

Menurut penulis, sikap beberapa kelompok di Aceh yang tetap bernafsu dengan rencana pengibaran bendera Bulan Bintang atau bendera Aceh tidak terlepas dari strateginya untuk mewujudkan kepentingan politik mereka. Kelompok ini diperkirakan akan terus melakukan cipta opini bahwa Pemerintah Pusat telah menyetujui bendera Aceh, sehingga perlu ketegasan terkait masalah tersebut.

Masalah Keamanan Perlu Diperhatikan

Permasalahan kesejahteraan dan perdamaian dengan kebutuhan rasa aman atau keamanan bagaikan dua sisi mata uang, karena tidak dapat diutamakan yang satu namun dilalaikan yang lainnya. Persoalan gangguan keamanan diakui atau tidak, masih menjadi momok yang sewaktu-waktu dapat terjadi di Aceh terutama di daerah-daerah pedalaman.

Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Kabaintelkam) Polri yang baru dilantik pada 16 April 2013, Inspektur Jenderal Suparni Parto akan memfokuskan kerjanya pada pelaksanaan Pemilihan Umum 2014. Suparni mengatakan akan melakukan deteksi dini kerawanan yang ada di sejumlah daerah, antara lain di Aceh.

Selain persoalan keamanan, Aceh juga masih rawan dengan belum matinya ide separatisme di beberapa kalangan terutama mantan kombatan. Kondisi ini “diperparah” dengan politisasi masalah ini oleh tokoh-tokoh tertentu. Menurut pengakuan salah seorang mantan kombatan di wilayah Wak Leeng, Kabupaten Aceh Tamiang, bahwa 2 tokoh GAM dari Swedia akan berkunjung ke Aceh untuk melakukan konsolidasi dan perekrutan anggota.

Sebelumnya, pada Juni 2013, sebuah kelompok yang mengklaim akan memperjuangkan kemerdekaan Aceh telah mengeluarkan siaran pers yang ditandatangani Abu Sumatera, salah seorang jubir kelompok tersebut, berisi keprihatinan terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial di Aceh. Kelompok ini menilai kesenjangan politik, ekonomi dan sosial terjadi akibat adanya kebijakan dan sistem dari Pemerintah Indonesia yang merupakan negara penjajah bangsa Aceh.

Hal ini tidak terlepas dari upaya segelintir elite politik Aceh yang masih mau bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, kelompok ini meminta seluruh komponen bangsa Aceh untuk menyatukan visi dan misi dalam memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri dengan cara yang sesuai norma dan hukum internasional. Kelompok ini bahkan telah membuka perwakilan di Kabupaten Aceh Tamiang.

Meskipun demikian, potensi perpecahan di antara kelompok mantan separatis yang “belum mendapat keuntungan” dari proses penandatanganan MoU Helsinki masih cukup kuat, karena kelompok ini mempunyai pendapat dan tetap mempropagandakan bahwa Indonesia adalah penjajah Aceh. Kelompok tersebut juga menilai sejumlah partai politik lokal telah membuat kesalahan yang fundamental, karena telah memperjuangkan bendera Bulan Bintang sebagai bendera Aceh di bawah kekuasaan Pemerintah Indonesia. Padahal bendera Bulan Bintang hanya boleh dikibarkan untuk kemerdekaan Aceh yang berdaulat.

Banyak kalangan di Aceh menilai bahwa manuver kelompok separatis di Aceh, sejauh ini lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk menunjukkan eksistensinya, sekaligus konsolidasi di kalangan anggotanya dalam mewujudkan agenda politiknya. Meskipun sejauh ini kurang mendapat dukungan, namun kegiatan kelompok separatis diperkirakan akan terus dilakukan dengan memanfaatkan berbagai momentum, sehingga perlu terus diwaspadai agar tidak berdampak terhadap situasi polkam di Aceh.

Kesimpulannya, masih banyak “titik didih ancaman” yang dapat mengoyak-oyak dan menghancurkan perdamaian di Aceh, sehingga sangat diperlukan kearifan lokal dan kebijakan seluruh elemen masyarakat Aceh untuk menyelesaikannya, dan menyakini bersama Indonesia maka Aceh akan semakin baik ke depan. Selamat memperingati MoU Helsinki, semoga Aceh tetap damai.

*) Toni Ervianto adalah alumnus Fisip Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia. Tinggal di Jakarta Timur.

(nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads