Pemboman Vihara Ekayana oleh kelompok OTK sempat mewarnai beberapa pemberitaan di media massa, khususnya media elektronik, situs berita dan beberapa sosial media, namun beberapa media massa cetak juga tidak tertarik dengan βhard factsβ seperti ini karena mungkin mereka menilai masalah ini adalah βmasalah basiβ walaupun itu dalam bentuk pemboman di rumah ibadah.
Pemboman di Vihara Ekayana tampaknya dilakukan oleh kelompok orang yang cerdas, namun semangat mencintai negara dan pluralisme yang sangat rendah. Serangan teror ini sepertinya ditujukan untuk menyampaikan beberapa pesan seperti yang ramai dibahas berbagai kalangan di sosial media. Meskipun demikian, serangan ini jelas memanfaatkan terjadinya apa yang disebut oleh Copeland dan Michael I Handels sebagai βsecurity gapβ akibat liburan panjang lebaran 1434 Hijriah sekarang ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi pada tahun-tahun sebelumnya telah terjadi sejumlah serangan teror seperti pemboman Hotel JW Marriot Jakarta (5 Agustus 2012), serangan bom di Kedubes AS di Nairobi, Kenya dan Dar es Salaam, Tanzania juga terjadi pada bulan ini beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu, beberapa pihak menyebut bulan Agustus sebagai βAnniversary Month of Terrorβ.
Meskipun demikian, terjadinya momentum pemboman di saat puasa dan lebaran, harus dijadikan kesempatan yang baik untuk menunjukkan terorisme tidak mengenal agama maupun latar belakang lainnya, sehingga semua komponen bangsa merapatkan barisan melawan teror dan tidak terpengaruh oleh aksi ini, karena semakin serangan teror menimbulkan kekacauan atau chaos, maka teroris semakin leluasa untuk menekan bangsa ini untuk mewujudkan agenda politik terselubungnya.
Masih Banyak Permasalahan
Sebagai bangsa yang beradab, kita tentunya βperang melawan hawa nafsuβ yang dilakukan selama bulan suci Ramadan haruslah berdampak signifikan terhadap perbaikan mutu kehidupan pribadi dan sosial dari semua elemen bangsa ini, yang pada akhirnya diharapkan dapat meminimalisir potensi-potensi konflik yang dapat meng ganggu keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Namun, tampaknya ada sejumlah masalah krusial yang berpotensi menciptakan ketidakstabilan keamanan pasca lebaran dan hal ini merupakan tantangan sekaligus ancaman yang harus diminimalisir oleh seluruh elemen bangsa.
Tantangan dan sekaligus ancaman yang pertama tentunya di bidang ekonomi. Pelambatan ekonomi nasional yang ditandai dengan sejumlah perusahaan menunda realisasi industrinya karena perkembangan ekonomi nasional yang kurang menggembirakan sepanjang kuartal I 2013 ini.
Rumus secara umum untuk menarik investasi adalah dilihat dari Product Domestic Bruto (PDB) sebuah negara. Jika pertumbuhan PDB itu menjadi salah satu faktor utama pengusaha untuk menanamkan modalnya, baik dalam bentuk penanaman investasi baru maupun peningkatan kapasitas investasi. Pelambatan ekonomi nasional jika tidak segera teratasi berpotensi menimbulkan βincome gapβ yang semakin menajam, kemungkinan terjadinya middle income trap yang dapat memicu bertambahnya pengangguran sehingga dapat menimbulkan volatilitas di bidang kamtibmas.
Sementara itu, Bank Dunia menuduh bahwa kebijakan pemerintah yang melakukan pembatasan impor menjadi penyebab meningkatnya inflasi sepanjang 2012 sampai kuartal I 2013. Kebijakan pembatasan melalui kuota impor pangan dan holtikultura tersebut akan dibawa ke sidang WTO oleh Amerika Serikat dengan menuduh Indonesia melalui barrier to trade. Oleh karena itu, sejumlah aktivis yang sepakat dengan konsep ekonomi βWorld Social Order (WSO) sebagai lawan dari WTO menyarankan, agar Indonesia keluar dari WTO dan Bank Dunia.
Tantangan dan ancaman berikutnya adalah pemberantasan korupsi yang diperkirakan akan semakin gencar disuarakan berbagai kalangan, terutama terhadap kasus-kasus korupsi βkakapβ antara lain kasus korupsi Hambalang, bail out Bank Century ataupun BLBI, serta kemungkinan korupsi dalam proyek βabadiβ perbaikan jalan Pantura.
Berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi secara tidak langsung ada masalah yang pantulannya dapat mengakibatkan kerugian pada negara yakni, memunculkan tuduhan terselubung seolah-olah negara atau pemerintah berkepentingan dengan berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi. Tuduhan terselubung tersebut antara lain seolah-olah pemerintah (eksekutif dan legislatif) tidak membantu memecahkan kesulitan KPK misalnya dibidang kurangnya penyidik, terbatasnya ruangan di gedung KPK dan lain-lain.
Tantangan dan ancaman berikutnya adalah persoalan keserasian atau keharmonisan kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama, terutama dikaitkan dengan masalah Syiah dan GKI Yasmin. Diakui atau tidak kedua permasalahan ini sarat dengan politisasi, sehingga apapun yang dilakukan negara c.q pemerintah selalu tidak benar. Dalam masalah GKI Yasmin, dari fakta-fakta yang ada bukanlah karena tidak adanya toleransi terhadap eksistensi jemaah GKI Yasmin yang mereka dramatisasi dengan bersembahyang di depan Istana, tetapi masalahnya adalah karena sangat sulitnya dicapai kesepakatan, di mana relokasi GKI Yasmin dapat dicapai diantara pimpinan Jemaah GKI Yasmin dengan Pemda Kodya Bogor.
Oleh karena itu, kita sebagai elemen bangsa harus semakin menyadari bahwa banyak tantangan, ancaman dan modus operandi yang dilakukan oleh mereka yang tidak suka Indonesia maju ke depan melalui pintu masuk yang disebut dengan βMIDLIFES (Military, Information, Democracy, Legal, Ideology, Finance, Economic dan Social)β dengan harapan Pemilu 2014 mengalami kegagalan, sehingga Indonesia mengalami setback demokrasi, karena ekses gagalnya Pemilu 2014 adalah munculnya pemerintahan yang otoriter.
*) Toni Ervianto adalah alumnus Fisip Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia. Tinggal di Jakarta Timur.
(nwk/nwk)