"Saya dan keluarga menuntut polisi mengembalikan nama baik saya yang setelah penggrebekan dikaitkan dengan jaringan teroris," tuntut Sapari warga Desa Penjor ini, kepada wartawan di kediamannya, Selasa (30/7/2013).
Sapari dikenal warga sebagai Kepala Urusan Kesra di kediamannya. Selain itu, dia juga dikenal sebagai Takmir di Masjid Al Jihad serta mengelola Lembaga Pendidikan TK/PAUD Aisyiyah. Dia juga aktif sebagai pengurus Muhammadiyah di tingkat Kecamatan Pagerwojo, Kabupaten Tulungagung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan Sapari, Mugi pun menuntut pihak kepolisian memulihkan nama baiknya akibat penangkapan yang dilakukan Densus 88/Antiteror, 22 Juli lalu. Terlebih, saat penangkapan berlangsung mereka kerap dikaitkan dengan kelompok teroris Poso dan membekas di dalam ingatannya.
"Saya tidak menuntut banyak pada polisi. Saya dan keluarga hanya minta polisi mengembalikan nama baik saya," kata Mugi yang menderita luka di kedua lengannya. Luka tersebut diakibatkan borgol yang mengikat keduanya terlalu kencang.
Sementara itu, Mabes Polri membantah telah melakukan salah tangkap terhadap keduanya. Pembebasan keduanya karena penyidik tidak menemukan keterkaitkan antara keduanya dengan dua terduga teroris yang tewas ditembak aparat, setelah menjalani batas waktu penetapan tersangka.
"Teman-teman sudah melaksanakan tugas tentunya melalui mekanisme. Jadi kalau Densus salah tangkap maka kemungkinan sangat kecil, karena peralatan yang dimiliki sangat canggih," ujar Kabag Penerangan Umum Div Humas Mabes Polri, Kombes Agus Rianto di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jaksel, Selasa (30/7/2013).
Agus mengatakan, sebelum Densus menangkap mereka, petugas telah melakukan investigasi secara mendalam. "Dari sejak ditangkap sampai terlibat satu jaringan, kita lihat keterkaitannya, karena kita tidak bisa menghukum seseorang kalau bukti tersangka cukup kuat," ujarnya.
(ahy/ahy)