Hal ini disampaikan hakim agung Salman Luthan. Menurut Salman pasal-pasal suap dari KUHP ke UU Tipikor hanya sebagai pasal tidur.
"Selama ini (pasal pembuktian terbalik) hanya sebagai pasal-pasal tidur yang tidak memiliki makna. Artinya, dalam sejarah pemberantasan tipikor, penerapan pasal-pasal tersebut tidak mencapai 0,1 persen dari total perkara korupsi," ujar Salman dalam diskusi 'Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)' yang digelar di gedung Mahkamah Agung (MA), Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (18/7/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Salman, praktek itu dilatarbelakangi oleh kenyataan sulitnya membuktikan kasus suap terkait gratifikasi. Salman menilai Pasal 5 hingga Pasal 13 UU No 31/2009 tentang Tipikor tentang suap adalah macan ompong.
"Ketentuan delik suap dalam UU Tipikor hanya macan ompong yang tidak punya daya tangkal sama sekali," ujar hakim agung dari akademisi ini.
Menurut Salman, untuk mengatasi hal ini dan memperkuat pembuktian kasus suap yang berasal dari gratifikasi adalah dengan menggunakan prosedur keperdataan. Prosedur ini diimplementasikan ke dalam penerapan teori pembuktian terbalik dengan keseimbangan.
"Artinya, sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut ditujukan untuk menggugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang berasal dari tindak pidana korupsi. Dengan demikian, kedudukan pembalikan beban pembuktian sebagai alternatif model pembuktian untuk kasus tindak pidana suap yang berasal dari gratifikasi memperoleh dasar pembenaran," tutup Salman.
(vid/asp)