"Mereka bisa bersaksi langsung, tetapi karena kondisinya, tidak bisa dihadirkan di persidangan. Dibutuhkan video conference/VCR untuk memberi kesaksian,” kata Ketua Asosiasi Psikologi Forensik dan Ketua Tim Pendampingan Saksi Kasus LP Cebongan, Yusti Probowati, tentang rekomendasi hasil uji psikologi yang dilaporkannya kepada LPSK.
Kepada wartawan yang menemuinya di Hotel Santika, Yogyakarta, Senin (17/6/2013), Yusti menjelaskan depresi yang dialami 10 orang saksi itu ditunjukkan dengan rasa cemas dan sedih yang tak berkesudahan. Meski secara fisik terlihat sehat dan dapat dihadirkan ke ruang sidang, namun bisa sangat beresiko terhadap kondisi psikologis mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tim psikologi masih akan terus memberikan pendampingan sampai persidangan digelar. Karena tidak menutup kemungkinan para saksi berubah pikiran melihat perkembangan kondisinya.
“Menjelang persidangan bisa saja ada yang berubah, dari sebelumnya berani hadir persidangan kemudian tidak berani. Ini bisa saja terjadi, karena takut atau lain-lain,” katanya.
Penanggungjawab Bidang Kerjasama dan Diklat Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban(LPSK), Teguh Soedarsono mengatakan, laporan hasil pendampingan psikologi ini menjadi dasar untuk digunakan atau tidaknya video conference. Namun dalam pasal 9 ayat 2 UU 13/2006 tentang perlindungan saksi dan korban, hak saksi dinataranya bsa diperiksa diluar pengadilan antaralain dengan menggunakan alat-alat elektronik. LPSK senidiri, diminta atau tidak diminta tetap menyiapkan alat atau media tersebut untuk para saksi.
“Sampai saat ini, penggunana video conference masih menunggu izin dari MA. Tapi kami tetap siapkan, digunakan atau tidak,”katanya.
Teguh mengatakan, hasil psikologi ini akan dikirimkan ke Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Peradilan Militer Utama, Peradilan Tinggi Militer, Oditurat Militer, Pengadilan Militer Yogyakarta dan petinggi TNI yakni Kepala Staff Angkatan Darat.
(lh/lh)