"Kalau masalah-masalah etika hanya diserahkan ke kesadaran individual, akan susah. Maka harus ada sistem sanksi etika jabatan publik," kata Jimly di depan pimpinan MPR di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/4/2014).
Selain Jimmly, turut juga anggota DKPP Valina Singka, Pendeta Saut Hamonangan Sirait, dan empat orang lainnya. Mereka ditemui oleh Ketua MPR Taufik Kiemas, serta Wakil Ketua MPR Hajriyanto Tohari dan Ahmad Farhan Hamid.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
DKPP telah sukses menerapkan sidang terbuka bagi pelanggaran etika. Dengan demikian, kultur segan pada rekan sendiri tidak menghalangi sanksi tegas dalam sidang kode etik.
Kasus Aceng Fikri yang sulit untuk diberhentikan menjadi contoh betapa etika sulit ditegakkan. Jimmly juga mencontohkan hakim Ahmad Yamanie yang pada sidang kedua diberhentikan dari jabatannya.
"Dalam sejarah, baru ada satu yang diberhentikan karena melanggar kode etik. Namanya Ahmad Yamanie, karena sidangnya terbuka (sidang ke dua)," tuturnya.
Jimly juga menyandarkan usul ini pada rekomendasi PBB tahun 1996 untuk membangun infrastruktur etik bagi pejabat publik. Taufik Kiemas menanggapi dengan simpatik.
"Menarik ini. Tak pernah terpikirkan. Kita anggap kita semua Taman Kanak-kanak lah. Kita juga harus belajar budi pekerti, bukan hanya anak-anak," tanggap Taufik.
(dnu/lh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini