"Sebenarnya yang diatur dalam pasal itu kan tindak pidana terhadap martabat, penghinaan. Kenapa dengan orang biasa bisa dipidana tapi kenapa dengan presiden tidak?" kata Wamenkumham Denny Indrayana saat menjadi pembicara dalam diskusi RUU KUHP dan KUHAP di Kantor Kemenhumham, Jalan Rasuna Said Kuningan Jaksel, Selasa (2/4/2013).
Pasal 265 Rancangan KUHP berbunyi 'setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta'
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Denny menyatakan, walaupun pada 2006 lalu MK sudah membatalkan pasal tersebut, saat ini rumusan mengenai pasal yang diperlukan sudah berbeda, sehingga perlu bagi DPR untuk kembali memunculkan pasal itu.
"Kalau dulu MK sudah membatalkan pasal itu kan rumusannya sekarang sudah berbeda, jadi saya pikir itu wajar. Dulu orang bicara apa tentang presiden sebelum dan sesudah reformasi saja berbeda. Tapi itu konsekuensi berpendapat. Rumusan KUHP harus bisa menjembatani penghinaan dan penyerangan. Terhadap siapapun tidak boleh menyerang ya, tapi menyerang apalagi presiden ya tidak boleh," kata Denny.
Apakah pasal tersebut perlu dimunculkan lagi atau tidak memang masih dapat diperdebatkan, karena RUU ini tidak mutlak akan dilaksanakan secara keseluruhan. Sebab masih butuh uji publik dan pengawasan dari masyarakat.
"Tentu kebebasan itu harus dijamin, tapi dalam batas apa penghinaan itu dapat dilakukan, menjadi tantangan menarik untuk hal tersebut,"jelasnya.
Sehingga dia menyatakan bahwa RUU ini masih belum sempurna dan masih harus dipertanggungjawabkan isinya.
"Makanya rumusan ini masih karet dan rumusan ini masih harus jelas deliknya karena masih harus dipertanggungjawabkan,"jelas Denny.
(asp/asp)