Pasal 244 KUHP berbunyi 'Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas'.
Pasal tersebut mengunci setiap vonis bebas telah berkekuatan hukum tetap pada tingkat pertama. Namun KUHAP yang diketok pada 31 Desember 1981 ini ternyata langsung menuai kontroversi dua tahun kemudian. Yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman No: M-PW 07.03. Tahun 1983 tertanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
5 hari setelah SK tersebut keluar, Mahkamah Agung (MA) memutus kasasi atas dasar putusan bebas. Yaitu perkara pidana korupsi Direktur Bank Bumi Daya Raden Sonson Natalegawa dengan putusan pidana 2 tahun 6 bulan.
Setelah lama tenggelam, Pasal 244 ini kembali menjadi ramai diperdebatkan saat gubernur Bengkulu nonaktif, Agusrin M Najamudin diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dan jaksa langsung kasasi.
Menggandeng Yusril Izha Mahendra, Agusrin pun menggugat ke MK dan menilai kasasi Jaksa tersebut melanggar Pasal 244 KUHAP. Saat itu, MK memutus tidak menerima perkara tersebut.
Pasal 244 ini juga dijadikan alasan oleh Wali Kota Bekasi, Mochtar Mohammad saat jaksa kasasi atas vonis bebas Pengadilan Tipikor Bandung. Di kasasi, Mochtar Mohammad dihukum 4 tahun. Demikian pula nasib Bupati Subang, Eep Hidayat yang sama-sama divonis bebas di Pengadilan Tipikor Bandung tetapi kena 5 tahun di tingkat MA. Lagi-lagi karena jaksa mengajukan kasasi dan 'menabrak' Pasal 244 KUHAP tersebut.
Perdebatan ini selesai saat MK membolehkan kasasi atas vonis bebas siang ini.
"Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya, putusan tidak berlaku surut. Akan tetapi putusan-putusan MA yang ada sebelumnya berkaitan dengan penerapan Pasal 244, MK perlu menegaskan bahwa MK tidak berwenang menguji putusan MA yang telah berlaku mengikat sebagai hukum," demikian pertimbangan MK yang dibacakan secara bergiliran oleh 9 hakim konstitusi di Gedung MK, Kamis (28/3/2013).
Namun vonis MK siang ini tidak bulat. Hakim konstitusi Harjono menyatakan tidak setuju frase tersebut dihapus. Sebab implikasinya akan memandulkan banyak pasal KUHAP yang lain. Padahal penghilangan tersebut tidak ada dasar konstitusionalnya.
"Praktik bukanlah rujukan untuk menyatakan sebuah UU bertentangan dengan UUD," demikian alasan Harjono.
(asp/try)