Di sisi lain publik juga sangat kritis meski sering salah sasaran karena kurang paham siapa bertanggung jawab apa terkait angkutan umum kereta api komuter di wilayah Jabodetabek. Memang tidak mudah untuk memahami isi sebuah regulasi. Konsumen tahunya kalau pelayanan buruk di KRL adalah PT KCJ/PT KAI yang bertanggung jawab. Wajar saja karena memang selama negara ini dikelola dengan tidak jelas, maka semua pelaksanaan regulasi juga menjadi tidak jelas.
Untuk itu sejak beberapa tahun lalu banyak tokoh masyarakat yang mendesak Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kereta Api (DJKA), untuk segera membereskan perkeretaapian dengan menyiapkan berbagai peraturan perundang-undangan, melakukan pembinaan kepada operator, memonitor pelaksanaan regulasi oleh operator dan memberikan sanksi hukum jika operator melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun apa yang terjadi ?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peran multifungsi yang dikerjakan oleh DJKA pada akhirnya membuat masalah perkeretaapian di Indonesia menjadi kurang berkembang karena antara DJKA dengan PT KAI selalu saling bersitegang atas banyak hal di bisnis perkeretaapian di Indonesia. Ketika Perpres No.83 tahun 2011 tentang Penugasan Kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) Untuk Menyelenggarakan Prasarana dan Sarana Kereta Api Bandar Udara Soekarno-Hatta dan Jalur Lingkar Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi muncul, persoalan menjadi sedikit terang di sektor bisnis kereta komuter.
Persoalan Tersisa di Bisnis KRL Jabodetabek
Dalam melakukan pembenahan operasi dan manajemen KRL Jabodetabek paska keluarnya Perpres No. 83 tahun 2011, PT KAI mengoperasikan KRL Jabodetabek di bawah kendali anak perusahaan, yaitu PT Kereta Commuter Jakarta (KCJ). Berbagai percepatan perbaikan pelayanan segera dilakukan oleh PT KCJ dan PT KAI dengan segala keterbatasannya.
Sering terganggunya persinyalan elektronik dan wesel di lintas Jabodetabek khususnya saat turun hujan membuat perjalanan KRL sering terganggu, matinya AC KRL di saat jam-jam sibuk yang super padat, rusaknya/anjloknya KRL, munculnya 'atapers', kurangnya rangkaian KRL dibandingkan dengan pertumbuhan penumpang, banyaknya perlintasan sebidang serta kumuhnya stasiun karena banyaknya warung dan asongan merupakan kendala yang harus dicari solusinya/.
Berhentinya KRL saat turun hujan karena sistem signal elektronik di Jabodetabek disambar petir sudah menjadi kejadian rutin di musim hujan. Hal tersebut disebabkan karena sistem signal dan wesel yang ada sudah sangat tua. Dibangun menggunakan dana APBN oleh Kementerian Perhubungan 20-25 tahun yang lalu. Jadi memang sudah saatnya diganti atau diperbaiki total.
Kumuhnya 67 stasiun di Jabodetabek oleh pedagang dan pengasong membuat stasiun tidak nyaman dan aman. Jorok dan bau toilet membuat stasiun bertambah tidak nyaman bagi penumpang KRL. Begitu pula dengan sistem ticketing yang rawan manipulasi harus segera dibenahi. 'Atapers' dan pelemparan kereta oleh warga sekitar rel di Jabodetabek juga merupakan persoalan sosial lain yang harus segera dibereskan oleh PT KCJ.
Terakhir adalah persoalan perlintasan sebidang. Di Jabodetabek ada 24 perlintasan sebidang utama (dari sekitar 60 yang ada) yang harus dibereskan karena rawan kecelakaan dan menghambat pola operasi KRL Jabodetabek. Jika tidak segera dibenahi, maka perjalanan KRL yang melintas setiap 10 menit agar bisa mengangkut 1,2 juta penumpang/hari akan sulit dicapai dan menimbulkan kemacetan kendaraan berkepanjangan karena pintu perlintasan akan tertutup cukup lama.
Langkah Perbaikan
Untuk membenahi kelancaran operasional KRL Jabodetabek supaya bisa mengangkut 1,2 juta orang/hari di tahun 2018, PT KCJ sudah secara bertahap menambah jumlah KRLyang beroperasi. Saat ini ada 384 unit (48 rangkaian) KRL yang beroperasi dan 57 unit cadangan. Tahun 2013 PT KCJ membeli lagi 180 unit KRL bekas dari Jepang yang secara bertahap akan beroperasi.
Tahun ini dipastikan sudah tidak ada lagi KRL Ekonomi non AC yang beroperasi karena selain sudah tidak manusiawi juga sering rusak dan mengganggu perjalanan KRL Jabodetabek secara keseluruhan. Alasan lain karena PT KAI mulai 2013 tidak akan lagi mengharapkan PSO untuk KRL Jabodetabek kelas ekonomi dari Pemerintah.
Untuk mengantisipasi banyaknya rangkaian KRL yang beroperasi, maka PT KAI sebagai induk perusahaan PT KCJ, mulai menambah daya listrik dan adaptor di jalur KRL Jabodetabek supaya suplai listrik cukup dan tegangan listrik stabil saat KRL berpapasan. Ketidakstabilan tegangan listrik menjadi penyebab utama rusaknya AC KRL.
Masalah sinyal dan wesel yang muncul saat hujan oleh PT KAI secara bertahap sedang ditangani. Untuk menghindari serangan petir yang dapat melumpuhkan sistem signal elektronik harus dipasang penangkal petir yang cukup. Namun karena dana IMO tak kunjung turun, PT KAI saat ini sedang memasang penangkal petir lebih banyak dengan anggaran internal.
PT KAI juga sudah melakukan pembicaraan dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait dengan pembangunan fly over di perlintasan sebidang untuk mengurangi gangguan perjalanan kereta maupun kendaraan. Pemprov DKI sudah sepakat untuk membangun beberapa fly over di perlintasan utama di Jakarta.
Masalah 'atapers' sudah diselesaikan dengan cara menurunkan pantograph di daerah rawan sehingga tidak memberikan ruang bagi 'atapers' untuk duduk di atap. Sedangkan masalah vandalism berupa pelemparan batu ke arah kereta yang sering menimbulkan cedera penumpang dan rusaknya kereta, masih belum terselesaikan dengan baik
Sterilisasi stasiun sedang berjalan meskipun mendapat perlawanan dari penyewa ruangan, pedagang asongan dan calo. Penertiban harus segera dilakukan demi kenyamanan pengguna KRL Jabodetabek. Tidak ada alasan PT KAI untuk mundur karena penertiban dilakukan diatas lahan milik PT KAI.
Demikian pula untuk pelaksanaan e-ticket akan segera di mulai pada Maret 2013 ini secara bertahap. E-card dan E-gate sudah mulai disiapkan di beberapa stasiun dengan menggunakan anggaran internal PT KAI.
Semoga semua upaya pembenahan pengoperasian KRL Jabodetbek bisa berjalan lancar dan secara bertahap pelayanan kepada konsumen/penumpang juga membaik.
*Pengamat kebijakan publik
(nrl/nrl)