Habitat Gajah Kerdil Kalimantan Terancam Kehadiran 2 Perusahaan HTI

Habitat Gajah Kerdil Kalimantan Terancam Kehadiran 2 Perusahaan HTI

- detikNews
Jumat, 01 Mar 2013 04:39 WIB
Ilustrasi (Straits Times)
Samarinda - Eksistensi habitat Gajah Kalimantan (Elephas Maximus Borneensis) di Kecamatan Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, terancam dengan kehadiran 2 perusahaan Hutan Tanam Industri.

Kedua perusahaan itu adalah PT BUL dan PT IWM. Keduanya telah mengantongi izin prinsip dan sedang melakukan proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk proses izin usaha HTI. Rencananya mereka akan mengkonversi hutan yang menjadi habitat Gajah Kalimantan, menjadi hamparan tanaman karet, sengon dan jabon.

Analisis yang dilakukan WWF-Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 66% kawasan yang diusulkan untuk dikonversi oleh PT BUL masuk dalam habitat gajah. Sedangkan 100% kawasan yang diusulkan PT. IWM juga merupakan habitat gajah. Konversi habitat satwa yang terancam punah untuk pembangunan HTI semestinya tidak dilakukan karena bertentangan dengan amanat dan program pemerintah untuk menjaga keseimbangan lingkungan, khususnya dalam melestarikan populasi gajah Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Seperti yang telah dituangkan dalam Permenhut Tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi untuk Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan. Penerbitan ijin HTI di areal habitat gajah akan berdampak negatif bagi masyarakat setempat," kata peneliti WWF-Indonesia Program Kalimantan Timur untuk Mitigasi Konflik Gajah-Manusia, Agus Suyitno, melalui rilis yang diterima detikcom, Kamis (28/2/2013).

Menurut dia, jika kawasan tersebut dibuka untuk areal HTI, gajah-gajah liar akan kekurangan pakan alaminya. Akibatnya, gajah akan mencari makan di pemukiman masyarakat sehingga memicu terjadinya konflik dengan masyarakat.

"Dalam penelitian, konflik gajah-manusia sudah mulai terjadi sejak 2005 sehingga pembangunan HTI tersebut justru akan memperparah konflik dan semestinya dihentikan operasinya atau bahkan dibatalkan proses izin untuk kawasan HTI-nya," ujar Agus.

"AMDAL perusahaan itu harus sesuai dengan fakta lapangan. Meskipun berada pada (KBK) Kawasan Budidaya Kehutanan, kalau kondisi di lapangan kawasan berada pada habitat gajah, areal tersebut jangan dibuka karena risikonya besar dan biayanya tinggi," kata Camat Tulin Onsoi, Santifil Oslo mengingatkan.

IUCN mengklasifikasikan gajah kerdil Kalimantan atau yang kerap dijuluki “Borneo Pygmy Elephant” ini dalam kategori genting (endangered). Hasil penelitian WWF-Indonesia dan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Kaltim pada tahun 2007-2012 lalu memperkirakan populasi gajah kerdil tersebut hanya berada pada kisaran 20-80 ekor saja.

"Gajah Kalimantan itu disebut ‘kerdil’ karena ukuran tubuhnya yang relatif paling kecil di antara subspesies gajah lainnya di dunia. Masyarakat adat Dayak Agabag di Tulin Onsoi menyebut gajah ini dengan sebutan “Nenek” dan mereka menganggap satwa ini adalah satwa sakral yang tidak boleh diganggu atau dimusuhi," terang Agus lagi.

Untuk mengurangi risiko konflik gajah, BKSDA Kaltim bersama Pemerintah Kabupaten Nunukan dan WWF-Indonesia bahu membahu bekerjasama membentuk Satgas (satuan tugas) mitigasi konfik gajah yang beranggotakan masyarakat dari 11 desa di kecamatan Tulin Onsoi.

"Tugas utama satgas adalah melakukan pencegahan dan penanggulangan konflik gajah. Upaya ini sedikit demi sedikit mulai menampakkan hasil karena intensitas kunjungan gajah ke pemukiman masyarakat kini semakin menurun," tutup Agus.

(slm/ahy)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads