"Kalau orang mau kasih seikhlasnya nggak masalah karena mereka bekerja kan di luar hari kerja. Rata-rata orang nikah kan hari Sabtu atau Minggu, mana ada orang nikah hari Selasa atau Kamis. Umumnya nikah hari libur Sabtu pagi, Minggu. Lantas KUA-nya dikasih uang transport kan wajar-wajar saja, itu bukan gratifikasi," kata wakil ketua Komisi VIII Hasrul Azwar kepada detikcom, Jumat (28/12/2012). Komisi VIII DPR membidangi masalah agama, sosial dan pemberdayaan perempuan.
Menurutnya, perspektifnya tidak bisa disebut sebagai suap atau gratifikasi, karena ada nilai humanisme dimana KUA dalam menikahkan orang bekerja di luar hari kerja dan tidak selalu KUA yang meminta uang transport atau tarif. Kecuali jika tarif itu ditentukan, menurutnya salah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi kalau takut gratifkasi, besok nikahnya hari kerja saja, Senin atau Selasa. Nanti kita minta Menteri Agama agar KUA harus bekerja pada jam kerja untuk hindari gratifikasi kalau caranya begitu. Jadi KUA yang benar saja, mereka manusia, menikahkan orang jauh, pakai sepeda, motor, berdebu, lalu dia dapat kan wajar saja," lanjut ketua fraksi PPP itu.
Ia menuturkan, dirinya baru saja menghadiri pernikahan dan menyaksikan ada saksi yang diberi uang oleh pengantin sebesar Rp 200 ribu, itu tentu wajar sebagai manusia dan angkanya pun tidak sampai jutaan sebagai mana dugaan Irjen Kemenag.
"Bagaimana kalau KUA itu nikahkan orang di Ujung Kulon. Jadi Pak Jasin (Irjen Kemenag) jangan gitu lah, macam mana dia menghitungnya Rp 1,2 trilun per tahun. Ada hitungan sosial, jangan hanya matematik saja, kita makan di restoran kita kasih tip itu kan wajar," lanjut Hasrul.
Sebelumnya, Inspektur Jenderal Kementerian Agama (Irjen Kemenag) M Jasin mengatakan pungli paling besar yang terjadi di KUA terkait dengan penghulu pernikahan. Banyak pungutan liar yang dilakukan oleh penghulu kepada pihak yang meminta dinikahkan. Ironisnya, pungutan liar itu ditargetkan oleh KUA asal si penghulu.
"Kalau di rumah, yang ditugasi penghulu itu dimintai jatah, kamu sekian, kamu segini. Masih relatif tinggi di Jakarta, dan di daerah sudah mulai tinggi. Sudah sampai jutaanlah," kata M Jasin di Kantor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Jalan Juanda No 37, Jakarta Pusat, Rabu (26/12/2012).
Jasin mengatakan pungutan liar kebanyakan terjadi ketika penghulu meminta 'ongkos' menikahkan dari pasangan yang telah mendaftar ke KUA. Tak tanggung-tanggung, mereka minta Rp 500 ribu untuk tiap pernikahan. Padahal, ongkos sebenarnya hanya Rp 30 ribu.
"Setahun itu 2,5 juta peristiwa nikah, itu belum termasuk yang cerai, jumlahnya sama. Misalnya rata-rata 2,5 juta dikalikan Rp 500 ribu, itu bisa sampai Rp 1,2 triliun," papar pria yang pernah menjadi Wakil Ketua KPK ini.
(iqb/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini