Komersialisasi Kesehatan: Pengingkaran HAM dan Belum Terwujudnya Welfare State

Komersialisasi Kesehatan: Pengingkaran HAM dan Belum Terwujudnya Welfare State

- detikNews
Rabu, 10 Jun 2009 09:11 WIB
Jakarta - Benar-benar prihatin atas tragedi yang menimpa Ibu Prita Mulyasari. Dalam kasus ini bermacam-macam hal campur aduk: malpraktek, upaya pengaburan fakta, ketidakprofesionalan, dan seterusnya. Hal ini juga menyadarkan banyak orang banyak yang salah dalam dunia kesehatan Indonesia. Tulisan ini ingin mengritisi soal pendapat terakhir ini.

Setiap manusia jelas punya hak untuk hidup. Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia paling hakiki. Dengan mengkomersialisasi dunia kesehatan kita sudah mengingkari hak tersebut. Kita jadi mengatakan "cuma yang kaya yang boleh hidup".

Menggelikan. Negara harus menjamin akses kesehatan ke semua rakyatnya tanpa kecuali. Dalam bahasa Inggrisnya akses ini disebut "Universal Health Care".

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebanyakan partai politik di negara maju yang menganut mazhab neoliberal pun setuju soal hal ini. Buktinya, dari sekian banyak negara maju, cuma Amerika Serikat yang tak memiliki Universal Health Care. Cuma di Amerika Serikat Universal Health Care masih terus diperdebatkan.

Sama seperti tak ada negara maju yang memprivatisasi militernya. Semua negara maju, minus Amerika Serikat, juga tak menyerahkan dunia kesehatannya pada mekanisme pasar. Maka, sekali lagi, "Universal Health Care" bukan masalah ideologi ekonomi. Mau mazhab Neoliberal, Keynesian, Neoklasik, atau mazhab ekonomi apa pun semua setuju ini adalah masalah moral.

Mari kita lihat posisi seseorang yang sedang sakit keras. Nyawanya sedang terancam karena tiap hari penyakitnya menggerogoti tubuh dan staminanya. Cerita berlanjut ketika si sakit ini pergi ke rumah sakit terdekat, dan ternyata dia mendapati bahwa untuk mengobati penyakitnya, dia harus membayar puluhan juta sampai ratusan juta rupiah. Timbul satu masalah: si sakit ternyata tak punya uang. Etiskah bila rumah sakit tersebut menolak pengobatan si sakit. Tidak sama sekali.

Mari kita ibaratkan si sakit tadi dengan seseorang yang tak bisa berenang dan sedang megap-megap di tengah laut. Pihak rumah sakit adalah orang-orang lain yang melihat si malang yang sedang megap-megap itu dari daratan. Mereka memiliki pelampung, tali, dan alat-alat lain untuk menyelamatkan orang tersebut. Namun, mereka berkata pada si malang "bayar dulu 100 juta rupiah, baru kami lempar pelampung ini". Itu jelas permintaan tak bermoral.

Semua negara harus menjamin persamaan hak warganya. Mirip dengan sekolah gratis yang menjamin persamaan peluang yang dimiliki semua warganya untuk mobilitas sosial. Rumah sakit gratis menjamin persamaan peluang untuk hidup.

Pemerintah Indonesia kini sudah menyediakan rumah sakit gratis untuk semua warga miskin. Sebuah awal yang sangat bagus. Tetapi, masih harus diteruskan. Loh, memangnya orang kaya juga butuh rumah sakit gratis? Biasanya memang tidak. Tapi, dalam beberapa kasus mereka juga butuh.

Bagaimana kalau sang orang kaya tertimpa kecelakaan di tengah jalan raya dan koma. Banyak Rumah Sakit meminta uang muka. Bahkan, sebelum sang korban dimasukkan ke unit gawat darurat (UGD). Rumah sakit gratis akan menjamin bayaran takkan pernah menjadi penghalang untuk merawat dan menyehatkan siapa pun.

Rumah sakit gratis adalah hak seluruh Warga Negara, kaya, menengah, maupun miskin. Rumah sakit gratis adalah kewajiban sebuah "Welfare State" atau negara kesejahteraan. Rumah sakit gratis akan mencegah terjadinya penempatan laba di atas kesejahteraan klien Rumah Sakit, dan mencegah terulangnya perlakuan buruk rumah sakit pada pasiennya seperti yang dialami Ibu Prita Mulyasari.

Marcel Hizkia Susanto
Jl Pembangunan I No 19 Jakarta Pusat
marcel_hizkia_susanto@yahoo.co.id
081289393561


(msh/msh)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads