Murdi sebagai pioner colenak melakoni usahanya sejak 1930. Dia saban hari berjualan makanan tradisional tersebut di pinggir Jalan Ahmad Yani (Cicadas) No 733, Kota Bandung, Jawa Barat.
"Kakek jualannya di tempat kecil. Dulu makanan ini disebut peyeum digulaan (tape dicampur gula)," ujar Betty Nuraety (43), cucu Murdi, saat ditemui detikcom di gerai Colenak Murdi Putra, Rabu (8/4/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi saat tape dibakar, asapnya ke mana-mana. Kakek kan jualan di depan (pinggir jalan). Nah, aroma asap tape bakar itu mengundang perhatian orang," kata Betty.
Kondisi tersebut membuat pembeli berdatangan untuk mencoba menikmati 'peyeum digulaan'. Rupanya ada konsumen yang tiba-tiba menyarankan agar camilan buatan Murdi mesti memiliki 'merek'.
"Konsumen mengusulkan diberi nama colenak. Ya karena cara makan tape bakar ini dicocol (disentuh berulang kali) pakai gula merah. Banyak pembeli menyebut enak. Maka tercetuslah colenak atau singkatan dari dicocol enak," tutur Betty.
Semenjak Murdi wafat di Bandung pada 1966 atau usia 72 tahun, secara turun temurun usaha colenak ala racikan Murdi yang legendaris ini tetap menggeliat hingga sekarang. Betty merupakan generasi ketiga penerus bisnis mendiang Murdi yang kini belabel 'Colenak Murdi Putra'.
Colenak Murdi salah satu produk kuliner paling tua di Bandung. Banjirnya usulan konsumen soal rasa colenak, pengelola meracik colenak ala Murdi menjadi tiga jenis. Ada original, aroma durian dan nangka. Kini satu porsi 'Colenak Murdi Putra' dibanderol Rp 9 ribu.
"Sejak dulu sampai sekarang, kami tetap menjaga kualitas rasa colenak. Cara pembuatan colenak juga tidak diubah," ujar Betty.
(bbn/ern)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini