"Negara kita sudah meratifikasi tahun 2006. Dalam hal TPPU, UU Tindak Pidana Korupsi perlu diamandemen. Yang lalu sudah ada juga draftnya yang dikerjakan pimpinan cuma enggak dimasukkan dalam prolegnas. Satu lagi UU perampasan aset, yang tidak terjangkau dengan TPK dan TPPU, padahal harta diperoleh secara tidak benar, aset bisa dirampas," kata Wakil Ketua KPK, Zulkarnain di Hulu Cai Camp, Ciawi, Bogor, Sabtu (21/11/2015).
Padahal, UU Perampasan Aset ini akan sangat signifikan dampaknya. Nantinya, bila ada pejabat yang memiliki harta tidak sesuai dengan profil pendapatan, tanpa adanya jeratan tindak pidana korupsi dan asetnya bisa langsung disita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ternyata, proses penindakan KPK saja tidak efektif untuk merampas aset para pejabat korup. Berdasarkan data di KPK, hanya 44% aset koruptor yang bisa disita terkait tindak pidana yang dituduhkan.
"Kita melalui penindakan di KPK, pernah kita teliti kerugian negara yang dikembalikan melalui penindakan. Perkara 2008-2011, yang dituntut jaksa KPK hanya diputus pengadilan 44 persen dari kerugian negara hasil audit BPK dan BPKP. Menjelang inkracht, rata-rata hanya 7 persen dari jumlah kerugian negara yang dituntut tadi," urainya.
"Di KPK, kita lihat, yang dibayar uang pengganti, ternyata uang pengganti yang dibayar terpidana hanya 50 persen, sisanya menjalani penjara. Denda juga sekitar 50 persen. Kalau biaya perkara, juga hanya 98 persen yang dibayar oleh terpidana," tegas Zul. (kha/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini