Notifikasi untuk Anda

Belum ada notifikasi baru.

Lihat Semua Notifikasi
Daftar/Masuk
Notifikasi untuk Anda

Belum ada notifikasi baru.

Lihat Semua Notifikasi
Daftar/Masuk

Spotlight

Bahaya Tak Kasatmata Bernama Resistensi Antimikroba

Konsumsi antibiotik yang ugal-ugalan memicu berbagai bakteri di tubuh manusia menjadi kebal. Ini buah dari buruknya tata kelola sektor pangan, kesehatan, dan kefarmasian kita.

Senin, 28 Oktober 2024

Akhir 2022 seharusnya menjadi salah satu masa bahagia dalam hidup Sari—bukan nama sebenarnya. Waktu itu ia mengandung dan akan segera melahirkan dua bayi kembar. Namun kebahagiaan itu lumpuh saat dokter menyatakan ada kondisi khusus pada kehamilannya. Sari kehilangan salah satu bayinya karena infeksi bakteri yang tak bisa diobati, bahkan dengan obat antibiotik paling kuat yang tersedia.

Ketika lahir, salah satu bayinya harus mendapat perawatan khusus karena memiliki berat badan yang relatif kurang ideal dan terpapar bakteri. Pada hari kesepuluh, bayi tersebut mengalami demam, sesak napas, dan perut kembung.

"Terus dikasih antibiotik, terus kultur darahnya juga diambil lagi. Setelah satu minggu, ternyata antibiotiknya itu nggak mempan di tubuhnya," tutur Sari kepada detikX.

Atas kondisi itu, tim dokter memutuskan memberi antibiotik yang lebih kuat. Namun tak ada perkembangan yang berarti. Bakteri dalam tubuh si bayi seolah kebal terhadap antibiotik tersebut.

Sampai akhirnya dokter infokan kalau pada hari ke-19 itu dikasih antibiotik yang paling kuat dan itu paling terakhir. Jadi, kalau misalkan tubuhnya menolak, otomatis nggak ada cara lain. Nah, ternyata pada hari ke-20, sudah nggak ada. Tanggal 3 Januari sudah meninggal jam 2 pagi."

Pada hari ke-12, kondisi bayinya memburuk. Terjadi komplikasi yang berdampak pada sebagian organ dalam. Tim dokter juga sudah sempat melakukan transfusi darah, tapi kondisinya tak kunjung membaik.

Kepada Sari, tim dokter meminta izin untuk melakukan upaya terakhir. Tim dokter memberi si bayi obat antibiotik paling kuat.

"Sampai akhirnya dokter infokan kalau pada hari ke-19 itu dikasih antibiotik yang paling kuat dan itu paling terakhir. Jadi, kalau misalkan tubuhnya menolak, otomatis nggak ada cara lain. Nah, ternyata pada hari ke-20, sudah nggak ada. Tanggal 3 Januari sudah meninggal jam 2 pagi," kenang Sari.

Kemudian hari, Sari baru mengetahui yang dialami buah hatinya adalah bagian dari masalah resistensi antimikroba. Dengan kata lain, berbagai jenis antibiotik tak lagi berdampak dan mampu memberikan efek penyembuhan. Dalam kondisi itu, antibiotik tak lagi mempan melawan bakteri yang ada dalam tubuh.

Sari tak sendiri. Resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) sebelumnya diperkirakan bertanggung jawab langsung terhadap 1,27 juta kematian global pada 2019 dan diperkirakan menjadi biang 4,95 juta kematian lainnya. Hal tersebut berdasarkan penelitian Kolaborator Resistensi Antimikroba bertajuk ‘Global burden of bacterial antimicrobial resistance in 2019: a systematic analysis’ yang terbit pada 2022 di jurnal The Lancet. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengacu pada hasil penelitian ini.

Pada 2019, Kementerian Kesehatan Indonesia memperkirakan terdapat 133.800 kematian yang berasosiasi dengan AMR di Indonesia. Hal itu menempatkan Indonesia di posisi ke-78 dengan angka kematian tertinggi (terstandar usia) terkait AMR dari 204 negara.

Data penjualan obat-obatan dari Kemenkes pun menunjukkan Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan konsumsi antibiotik nasional sebesar 2,5 kali lipat antara 2000 dan 2015. Sebagian besar adalah penisilin, fluorokuinolon, dan sefalosporin. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang mengalami peningkatan terbesar dalam konsumsi antibiotik secara global.

Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri, jamur, dan parasit tidak lagi merespons obat antimikroba, sehingga meningkatkan risiko penyebaran penyakit. Kondisi itu dapat terjadi karena konsumsi berlebih antimikroba, seperti obat antibiotik.

Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Ika Puspita Sari membenarkan makin merebaknya resistensi antimikroba di Indonesia. Menurut laporan yang ia terima di banyak fasilitas kesehatan, tiap harinya ditemukan pasien dengan kondisi sudah resisten terhadap antimikroba atau antibiotik.

Karena kondisi itu, kini pihaknya banyak melakukan uji sampel darah pasien yang sudah mengonsumsi jenis antibiotik level tinggi. Para pasien itu biasanya telah mengonsumsi antibiotik lebih dari dua minggu atau bahkan di atas 20 hari, tapi penyakitnya tak kunjung membaik.

"Parah, Mas. Parah banget. Kita di ICU tiap hari sekarang ketemu CRAB (Carbapenem-resistant Acinetobacter baumannii, bakteri penyebab infeksi berat yang sudah resisten dengan antibiotik golongan karbapenem). Sering ketemu. Pokoknya, hari ke hari ini tambah (banyak)-lah," ungkap guru besar bidang farmakologi dan toksikologi itu kepada detikX.






Ika menjelaskan resistensi antimikroba terbukti meningkatkan risiko kematian. Angka kematian meningkat hingga tiga kali lipat terhadap pasien yang sudah resisten dan terpapar bakteri Acinetobacter baumanniii. Adapun pasien resisten yang terpapar bakteri Klebsiella pneumoniae, angka kematiannya meningkat empat kali lipat jika dibandingkan dengan mereka yang tidak resisten antibiotik.

Di sisi lain, kondisi resisten juga meningkatkan beban biaya kesehatan. Bahkan, menurut Ika, mereka yang resisten menghabiskan waktu lebih lama di rumah sakit sekitar 30 sampai lebih dari 50 persen. 

Peredaran bebas dan konsumsi antibiotik tanpa petunjuk dokter menjadi salah satu sebab semakin banyaknya pasien yang resisten. Menurut Ika, berdasarkan sejumlah penelitian pada 2021-2022, di sejumlah daerah, masyarakatnya menganggap antibiotik sebagai obat penurun panas. Oleh karena itu, antibiotik sering dibeli tanpa resep untuk mengobati demam layaknya parasetamol.

Selain itu, pembelian antibiotik di warung-warung kelontong dilakukan dengan sistem eceran. Antibiotik, yang seharusnya diresepkan oleh dokter dengan dosis dan jumlah takaran tertentu, kini dapat dibeli hanya satu atau dua butir. Padahal penggunaan antibiotik di puskesmas, terutama untuk penyakit flu, sangat dibatasi. Rasio peresepan antibiotik tidak boleh lebih dari 10 persen.

"Di Bekasi itu ternyata banyak yang merasa bahwa antibiotik itu buat menurunkan panas. Bahkan (dianggap) bisa meningkatkan antibodi. Nah, repot ya, bahkan yang sakitnya itu pegal linu saja dikasihnya antibiotik. Dia lebih pede kalau minum antibiotik," ungkapnya.

Selain faktor peredaran bebas antibiotik untuk konsumsi manusia, resistensi makin parah juga dipengaruhi oleh pemakaian antibiotik secara ugal-ugalan di lingkungan ternak, baik ikan maupun unggas. 

Dosen Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik itu mencontohkan kasus di Yogyakarta. Pada survei kesehatan Kemenkes 2023, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menempati urutan pertama sebagai wilayah dengan peredaran antibiotik tanpa resep paling sedikit. Namun pasien dengan kondisi resisten di Jogja tetap banyak. 

Usut punya usut, pemakaian antibiotik terhadap ternak di peternakan sekitar Jogja tidak terkontrol. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh UGM, residu antibiotik banyak ditemukan di sekitar peternakan, baik tanah, air, bahkan produk ternak, seperti daging dan telur ayam. Celakanya, menurut Rita, berdasarkan sejumlah penelitian, residu antibiotik produk ternak tidak hilang bahkan setelah dimasak atau diolah. Residu tersebut turut masuk ke tubuh manusia saat dikonsumsi.

"Di peternakan ini, kebetulan kami ambil sampelnya di sekitar Sleman karena itu kan daerah peternakan ayam gitu ya, ternyata dari sampel, baik tanah, air, daging, itu ya ternyata itu ketemu gitu ya, ada residu antibiotik gitu dan itu sudah kami tes juga itu ternyata banyak yang resisten," ujarnya.

Ketua Purna Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan 2014-2021 Hari Paraton membenarkan angka resistensi antimikroba di Indonesia terus meningkat. Menurut Hari, mengutip data Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS), angka prevalensi mikroba yang resisten terhadap antimikroba di Indonesia terus meningkat. Angka kelaziman itu pernah menyentuh angka 40 persen dan kini ada di angka 68 persen (bakteri Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae tidak mati dengan antibiotik golongan tinggi). Kenaikan tersebut sejalan dengan konsumsi antibiotik yang berlebih di Tanah Air.

Potret Guru Besar bidang Farmakologi dan Toksikologi UGM Ika Puspitasari.
Foto : Youtube/UGM Channel

"Nah, kenaikan ini kan berarti sejalan dengan konsumsi antibiotik. Teorinya memang gitu, hukum alamnya gitu. Jadi berarti negara kita konsumsi antibiotiknya masih berlebihan," terang dokter spesialis kebidanan dan kandungan itu kepada detikX.

Meluasnya resistensi sebetulnya dapat ditekan dengan mengurangi penggunaan antibiotik yang berlebih (overuse) dan penggunaan yang tidak tepat (misuse). Penggunaan tidak tepat sasaran ini terjadi saat suatu penyakit yang seharusnya tidak memerlukan antibiotik tapi justru diberi antibiotik.

Hal itu diperparah dengan penggunaan antibiotik level menengah dan kuat pada penyakit-penyakit ringan. Parahnya, saat ini masih banyak masyarakat yang melakukan swamedikasi penggunaan antibiotik. Menurut Hari, mengutip data Kemenkes, masyarakat yang swamedikasi atau membeli obat sendiri ada di kisaran angka 42 persen. Adapun menurut data Badan Pusat Statistik, persentase penduduk Indonesia yang melakukan swamedikasi sepanjang 2023 adalah 79,74 persen.

"Ini membahayakan sekali ya karena mereka sedikit-sedikit antibiotik dan kadang-kadang pakainya juga nggak sedikit nih mereka. Batuk sedikit, pilek sedikit, ya radang tenggorokan, pasti minuman antibiotik, ya kan," ucap Hari.

Akibatnya, makin banyak bakteri yang kebal terhadap antibiotik level menengah atau yang lebih kuat. Kondisi itu berbahaya karena bakteri yang sudah beradaptasi dengan antibiotik dan kebal dapat berpindah inang dan menulari manusia lain.

"Mestinya pakai golongan yang menengah, dikasih yang tinggi golongannya, terlalu tinggi. Dengan anggapan, kalau antibiotiknya tinggi, dia cepat sembuh, anggapannya. Padahal itu salah. Justru nanti, kalau sudah pakai yang tinggi, kalau resisten, pakai apa lagi?" Jelas Hari.

Guna menghindari infeksi bakteri yang sudah kebal, pasien yang sudah resisten seharusnya disediakan ruangan rawat khusus untuk isolasi. Demikian juga para tenaga kesehatan dan dokter yang bertugas harus menggunakan alat pelindung diri atau APD guna menghindari penularan.

Di sisi lain, Hari menilai masih banyak dokter yang masih tidak paham resistensi antimikroba dan meresepkan antibiotik tanpa indikasi yang jelas. Kondisi itu terjadi karena kurikulum pendidikan dokter di Indonesia tidak secara implisit mengajarkan resistensi antimikroba.

"Jadi hanya disinggung sepintas-sepintas saja. Kenapa? Karena banyak dipangkas kurikulum kedokteran itu. Di antaranya resistensi ini ikut terpangkas ya. Bayangannya mungkin dulu yang pemangkasannya ini bisa belajar sendiri. Ternyata dokter tidak belajar sendiri ya, yang kedua karena ikut seniornya. Seniornya sudah salah, diikuti biasanya," ungkap Hari.

Selain itu, Hari melihat adanya faktor iming-iming dari perusahaan-perusahaan farmasi kepada para dokter untuk lebih sering meresepkan antibiotik dari perusahaan tertentu. Dari kerja sama terselubung itu, para dokter disebut memperoleh imbalan. Dokter yang disasar biasanya yang sudah memiliki 'nama' dan terkenal mempunyai banyak pasien. Biasanya dokter dengan kualifikasi tersebut peresepan obatnya cenderung akan diikuti oleh dokter lainnya.

"Itu karena ulah dari sebagian perusahaan farmasi ya, iming-iming. Kemudian ya macam-macamlah, dikasih tiket-lah, dikasih ini. Ya itu juga lumayan karena tiap pabrik obat saling bersaing ya. Itu ya lahan yang bagus untuk diperebutkan. Itulah sebabnya terjadi praktik-praktik yang seperti itu tadi ya," ucap Hari.

Maklum, upaya itu dilakukan karena adanya persaingan antarperusahaan farmasi. Tujuannya untuk memperebutkan kue distribusi dan perdagangan antibiotik yang diperkirakan nilainya mencapai triliunan rupiah tiap tahun.

"Tapi biasanya sih nggak wujud uang. Teman-teman tuh ada yang nanti kalau kongres. Kalau peraturan dulu tuh, ada edaran, selama itu untuk kepentingan ilmiah, masih boleh. Jadi hanya untuk membiayai tiket hotel sama kongres, fee itu boleh. Tapi, kalau untuk pikniknya, ya nggak, untuk keluarganya juga nggak dibiayai," sambungnya.

Bahkan menurut data yang ia paparkan, penggunaan antibiotik yang sesuai indikasi hanya sekitar 20 persen. Pengujian itu dilakukan di sejumlah rumah sakit yang dirahasiakan. Adapun departemen yang paling banyak menggunakan antibiotik adalah bedah, obstetri dan ginekologi, penyakit dalam, serta anak.

Padahal pada 2021, Kementerian Kesehatan telah menerbitkan panduan penggunaan antibiotik di fasilitas kesehatan. Aturan itu bagian dari program Penatagunaan Antibiotik. Namun, menurut Hari, hanya sekitar 38 persen dokter di Indonesia yang melihat dan patuh pada guideline tersebut.

"Kalau ada dokter membuat resep, (dilihat) ini kasusnya apa, misalkan sakit radang paru-paru antibiotiknya ini. Kalau itu nanti di-review sudah betul, maka farmasi atau apotek akan memberi antibiotiknya. Tapi kalau nanti, oh ini dosisnya kurang, oh ini dosisnya kelebihan. nanti didiskusikan tim PGA (Penatagunaan Antibiotik) dengan dokternya untuk meluruskan penggunaan antibiotik. Jadi artinya, tim PGA itu menjamin pasien menerima antibiotik yang benar, yang akurat," jelas Hari.


Liputan ini dibuat melalui beasiswa dari Internews Earth Journalism Network.


Reporter: Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban
Ilustrasi: Kartun bakteri kebal antibiotik. (LCOSMO/Istockphoto)

Baca Juga+

SHARE