SPOTLIGHT

Geger Putusan Menunda Pemilu 2024

Putusan PN Jakpus menunda Pemilu 2024 dianggap terlalu sembrono dan salah alamat. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung didesak segera memeriksa tiga hakim yang memutus perkara ini.

Foto: Partai Prima saat menggelar demonstrasi di depan kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (8/12/2022). Agung Pambudhy/detikcom

Senin, 06 Maret 2023

Di Kemayoran, Jakarta Pusat, sekitar 3 kilometer dari Istana Negara, hakim Tengku Oyong mengetuk palu putusan yang menghebohkan negara. Rabu, 1 Maret lalu, Oyong bersama dua hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat lainnya, H Bakri dan Dominggus Silaban, memutus perkara perdata Nomor 757/Pdt.G/2022/PNJkt.Pst yang diajukan Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima). Gugatan tertuju kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menganggap KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum. Penyebabnya, telah menghilangkan hak politik Partai Prima untuk maju dalam Pemilu 2024. Atas pertimbangan itu, hakim—dalam amar putusannya—meminta KPU mengulang proses tahapan Pemilu 2024 dari awal.

“Menghukum Tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum 2024 dari awal selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari,” begitu bunyi poin kelima dari amar putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt. Pst tersebut.

Jika mengacu pada tuntutan Partai Prima, proses penyelenggaraan Pemilu 2024—sejak penetapan PKPU 3/2022—hingga hari ini telah berlangsung hampir 9 bulan. Sedangkan perintah hakim terhadap KPU tersebut sama saja dengan menghilangkan 9 bulan itu dan memulai proses tahapan pemilu dari awal.

Putusan PN Jakpus ini dianggap kontroversial oleh pelbagai pihak. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menilai hakim PN Jakarta Pusat tidak profesional dan tidak paham hukum pemilu. Bagi Jimly, PN Jakarta Pusat salah alamat atau tidak memiliki wewenang mengadili perkara pemilu. Apalagi sampai memutuskan menunda pemilu.

Ketua Umum Partai Prima Agus Jabo Priyono melakukan klarifikasi terhadap putusan PN Jakpus menunda pemilu, Jumat (3/3/2023). 
Foto : Grandyos Zafna/detikcom

Jimly mengatakan, yang berwenang mengadili sengketa pemilu hanyalah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Aturan ini tegas tertuang dalam Pasal 468 dan 470 Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam kata lain, kata Jimly, PN Jakarta Pusat telah melampaui kewenangannya untuk menjadikan ranah perdata yang digugat Partai Prima sebagai ranah publik sehingga bakal berdampak terhadap semua partai politik.

“Sanksi perdata cukup dengan ganti rugi, bukan menunda pemilu, yang tegas merupakan kewenangan konstitusional KPU,” tegas Jimly pekan lalu.

Kritik atas putusan hakim PN Jakarta Pusat itu juga datang dari pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Seharusnya, kata Bivitri, sejak awal PN Jakarta Pusat sama sekali tidak perlu menyidangkan gugatan Partai Prima. Sebab, jelas dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tertuang bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang dilakukan penguasa alias onrechtmatige overheidsdaad—dalam hal ini KPU—harus disidangkan melalui PTUN.

Kenapa dan apa dasar daripada hakim ini sampai-sampai putusannya itu untuk melakukan penundaan ini."

Bivitri khawatir putusan PN Jakarta Pusat, yang telah menabrak sejumlah aturan itu, bakal menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Pasalnya, putusan PN Jakarta Pusat ini seolah telah memberi celah bagi pihak-pihak lainnya untuk menggugat perkara lain yang seharusnya masuk dalam ranah tata usaha negara melalui PN. Misal saja soal penambahan masa jabatan presiden yang belakangan kerap digaungkan oleh loyalis Presiden Joko Widodo.

“Nggak usah repot-repot mengamendemen UUD, ternyata level PN saja bisa,” terang Bivitri kepada reporter detikX melalui sambungan telepon pekan lalu.

Juru bicara Dewan Pengurus Pusat Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, juga turut mengkhawatirkan hal serupa. Partai Demokrat menduga putusan PN Jakarta Pusat menunda pemilu merupakan bagian dari pemufakatan jahat kelompok-kelompok tertentu untuk melanggengkan kekuasaan yang ada sekarang.

Sebab, kata Herzaky, putusan itu terlalu mengada-ada dan tidak masuk logika. Bagaimana mungkin, sambung Herzaky, urusan perdata antara Partai Prima dan KPU malah berimplikasi pada hak partai-partai politik lainnya. Lebih-lebih, putusan itu juga turut mengganggu gelaran pemilu secara umum, yang menjadi perwujudan dari hak konstitusi dan kedaulatan rakyat.

“Ini secara logika hukum tidak masuk akal,” tegas Herzaky kepada reporter detikX pada Jumat, 3 Maret lalu.

Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Nasional Demokrat (NasDem) Irma Suryani memandang wajar jika ada pihak-pihak yang menilai bahwa putusan PN Jakarta Pusat ini merupakan permainan dari oknum tertentu untuk melanggengkan kekuasaan. Pasalnya, putusan itu memang bakal memberikan dampak terhadap proses pemilu yang boleh jadi bakal tertunda sampai 2025 atau lebih.

Atas alasan itu, kata Irma, seharusnya putusan PN Jakpus ini batal demi hukum. KPU, menurut Irma, perlu mengajukan banding atas putusan tersebut. Sebab, bagaimanapun, keputusan pengadilan tidak bisa dihadapi hanya dengan kritik maupun protes dari masyarakat atau tokoh politik. Putusan pengadilan, kata Suryani, hanya bisa dibatalkan dengan keputusan yang lebih tinggi lagi.

“Hal ini baik dilakukan KPU agar kegaduhan yang ditimbulkan dapat meminimalkan gorengan-gorengan terkait adanya kepentingan politik tertentu,” ungkap Irma kepada reporter detikX.

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus pun turut mengkritisi putusan PN Jakarta Pusat tersebut. Menurut Guspardi, putusan itu sangat berbahaya dan bertentangan dengan UUD 1945, yang mengamanatkan bahwa pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Dengan dasar itu, Guspardi meminta Komisi Yudisial segera memeriksa ketiga hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Komisi Yudisial (KY), kata Guspardi, perlu turun tangan untuk menggali alasan ketiga hakim sehingga memutuskan menunda pemilu.

“Kenapa dan apa dasar daripada hakim ini sampai-sampai putusannya itu untuk melakukan penundaan ini,” tutur Guspardi kepada reporter detikX pekan lalu.

Secara terpisah, ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, juga menyampaikan pandangan senada. Menurut pria yang akrab disapa Uceng itu, putusan PN Jakarta Pusat sangat aneh. Seharusnya, kata Uceng, dalam ranah perdata, fokusnya hanyalah mengembalikan hak keperdataan penggugat. Bukan malah mengubah jadwal pemilu.

Karena itu, penting bagi KPU untuk segera mengajukan banding atas putusan yang bermasalah tersebut. Uceng juga turut meminta KY dan Mahkamah Agung memeriksa hakim yang telah memutuskan perkara ini menjadi seolah ranah publik.

“Pengawasan hakim yang berani macam ini juga harus kencang,” jelas Uceng melalui pesan singkat kepada reporter detikX.

Mengenai desakan itu, juru bicara KY Miko Ginting menyatakan pihaknya bakal mencermati substansi dari putusan PN Jakarta Pusat tersebut. Salah satu upayanya adalah memanggil majelis hakim yang memutus perkara ini untuk dimintai klarifikasi. Apabila nantinya, kata Miko, ditemukan dugaan pelanggaran perilaku hakim dalam proses klarifikasi itu, KY bakal memeriksa hakim yang bersangkutan.

Meski demikian, Miko mengatakan KY tetap tidak bisa mengubah putusan yang telah ditetapkan PN Jakarta Pusat. Ranah mengubah putusan itu hanya bisa dilakukan melalui upaya hukum lainnya. Domain KY, sambung Miko, hanya pada aspek dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.

“KY juga akan berkomunikasi dengan Mahkamah Agung terkait dengan putusan ini serta aspek perilaku hakim yang terkait,” terang Miko kepada reporter detikX.

Terkait langkah hukum, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengaku pihaknya bakal mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Pusat ke Pengadilan Tinggi. Dengan adanya upaya itu, Hasyim menegaskan putusan PN Jakarta Pusat ini tidak akan mempengaruhi proses tahapan Pemilu 2024.

“Perlu kami tegaskan bahwa KPU tetap akan menjalankan tahapan-tahapan pelaksanaan atau penyelenggaraan Pemilu 2024,” tegas Hasyim kepada wartawan saat menggelar konferensi pers di Kabupaten Badung, Bali, pada Kamis, 2 Maret lalu.

Sebelumnya, sebagai tergugat, KPU telah mengajukan eksepsi. Inti penolakan atau keberatan atas gugatan tersebut ialah PN Jakarta Pusat tak berwenang mengadili penegakan hukum pemilu dan gugatan Partai Prima tidak jelas. Namun eksepsi tersebut ditolak majelis hakim PN Jakarta Pusat.

Berawal dari Eror Sipol KPU

Ketua Umum Prima Agus Jabo Priyono berpandangan putusan PN Jakarta Pusat atas gugatan partainya sudah sangat rasional. Dia mengklaim putusan agar KPU tidak melaksanakan tahapan pemilu selama 2 tahun 4 bulan itu telah sejalan dengan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

Dalam aturan itu, Agus menjelaskan, setiap warga negara, termasuk Partai Prima, memiliki hak memilih dan dipilih. Sedangkan KPU, menurut Agus, telah melanggar hak tersebut.

“Dengan demikian, terbukti KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum,” tegas Agus kepada reporter detikX.

Penampakan kantor DPP Partai Prima, Jumat (3/3/2023).
Foto : Grandyos Zafna/detikcom

Sekretaris Jenderal Partai Prima Dominggus Oktavianus menjelaskan hak-hak Partai Prima yang telah dilanggar itu adalah hak maju sebagai partai peserta Pemilu 2024. Pelanggaran hak itu, kata Dominggus, bermula ketika Partai Prima dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai peserta pemilu dalam berita acara KPU bernomor 232/PL.01.1-BA/05/2022 pada 13 Oktober 2022.

Dalam berita acara tersebut, Partai Prima dinyatakan TMS lantaran gagal memenuhi syarat 100 persen keanggotaan di lima kabupaten/kota. Namun hal itu dibantah Partai Prima, yang merasa syarat tersebut sudah terpenuhi semuanya. Keberatan itu disampaikan Partai Prima ke Bawaslu pada 14 Oktober 2022. Gugatan Partai Prima ini, kata Dominggus, dikabulkan sebagian oleh Bawaslu.

“Di situ akhirnya Bawaslu menyatakan memang ada persoalan, ada tindakan atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU,” jelas Dominggus kepada reporter detikX pekan lalu.

Bawaslu kemudian meminta KPU memberikan kesempatan kepada Partai Prima memperbaiki dokumen persyaratan yang dinyatakan TMS tersebut dalam waktu 1x24 jam setelah putusan dibacakan. Namun, dalam waktu yang ditetapkan itu, Partai Prima tidak berhasil memperbaiki dokumen persyaratannya lantaran terjadi eror dalam aplikasi Sistem Informasi Politik (Sipol) KPU. Lantaran kegagalan dan eror aplikasi Sipol itu, Partai Prima pun kembali dinyatakan TMS oleh KPU.

Keputusan KPU tersebut akhirnya digugat kembali oleh Partai Prima ke PTUN pada November 2022. Tetapi PTUN kala itu menyatakan gugatan Partai Prima tidak bisa diproses. Penyebabnya, KPU belum mengeluarkan keputusan final nama-nama partai yang lolos dan tidak lolos Pemilu 2024. Partai Prima, sambung Dominggus, harus menunggu KPU mengeluarkan keputusan final pada 14 Desember 2022.

Setelah itu, Partai Prima pun kembali mengajukan gugatan ke PTUN. Namun PTUN kembali menolak lantaran nama Partai Prima tidak disebut dalam nama-nama partai yang tidak lolos Pemilu 2024. PTUN berdalih bahwa Partai Prima tidak memiliki objektivitas gugatan lantaran namanya tidak disebut dalam putusan KPU tersebut.

“Artinya, di sini KPU secara sengaja mau meniadakan hak politik kami untuk bisa mengajukan putusan mereka itu ke pengadilan,” terang Dominggus.

Atas alasan itulah, akhirnya Partai Prima mengajukan gugatan ke PN Jakpus terkait dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan KPU. PN Jakpus pun pada akhirnya memenangkan Partai Prima dan mengabulkan semua petitum yang dimohonkan.

“Jadi kami pada intinya adalah ingin memperjuangkan hak politik kami dipulihkan sebagai partai politik peserta Pemilu 2024,” pungkas Dominggus.


Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Ahmad Thovan Sugandi, Dimas Miftakhul Fakri (magang)
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE