Ilustrasi : Edi Wahyono
BKetika digelandang tim Resmob Polsek Panakkukang pada Ahad, 9 Januari lalu, AR, 17 tahun, masih mengenakan celana abu-abu sekolah menengah atas. AR bersama karibnya, AF, 18 tahun, diduga terlibat dalam penculikan sekaligus pembunuhan seorang bocah 11 tahun berinisial MFS di Makassar, Sulawesi Selatan.
Jenazah MFS dibuang ke kolong jembatan Inspeksi Pam Timur Waduk Nipa-nipa, Moncongloe, Makassar, dengan kondisi tangan terikat dan tubuhnya dibungkus plastik hitam pada Jumat, 8 Januari 2023, malam.
“Dia (AR) itu pura-pura minta korban ini untuk bersihkan rumahnya, nanti akan dibayar Rp 50 ribu,” jelas Kapolrestabes Makassar Budhi Haryanto saat dihubungi reporter detikXpekan lalu. “Begitu sampai di rumah, anak ini dikasih laptop, diputerin game, dikasih headset. Saat korban asyik dengan laptop, pelaku mencekik dan membekap korban dari belakang.”
AR dan AF tega membunuh MFS lantaran alasan ekonomi. Keduanya berencana menjual ginjal dan paru-paru MFS ke sebuah situs penjualan organ yang ditemukannya melalui situs pencarian asal Rusia, Yandex. Situs itu ditemukan AR setahun lalu setelah melihat pemberitaan siaran televisi melalui YouTube terkait berita kriminal penjualan organ. Sejak saat itu, AR mulai merencanakan pembunuhan.
Rekonstruksi Mako Satbrimob Polda Sulawesi Selatan terkait kasus pembunuhan bocah di Makassar dengan motif untuk dijual organnya, Selasa (17/01/2023).
Foto : Agil Asrifalgi/detikSulsel
Desakan keluarga untuk segera menghasilkan uang menjadi dalih AR dan AF tega membunuh MFS. Keduanya mengaku kerap dicaci maki orang tuanya lantaran dianggap sebagai anak sial. Itulah mengapa AR dan AF berambisi bisa segera mencari uang kendati keduanya masih merupakan pelajar SMA.
Walaupun hasil belum keluar, kami lihat anak ini agak psikopat. Dia (AR) tidak menunjukkan penyesalan, tidak sedih juga. Yang kecil (AF) menyesal dan menangis terus.”
“Uangnya buat ini, kasih orang tua, karena setiap hari kan sering dimarahi,” kata AR ketika diwawancarai detikcom di kantor Polrestabes Makassar pekan lalu.
Keluarga AR dan AF tinggal di daerah miskin Kelurahan Batua Raya, Panakkukang, Makassar. Orang tua AR hanya seorang pedagang kelontong di pondok kecil tepi jalan. Pondok itu sekarang sudah dirobohkan warga yang marah lantaran perbuatan pelaku. Dua orang tua tersangka pun kini tengah diamankan Polrestabes Makassar dari amukan massa.
Budhi Haryanto mengatakan, di lingkungan rumah AR dan AF memang banyak anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian orang tua. Di lingkungan yang miskin ini, para orang tua lebih banyak bekerja mencari nafkah. Sedangkan anak-anaknya dibiarkan belajar sendiri dan beberapa ada yang diminta ikut mencari uang.
Korban MFS termasuk yang turut ikut mencari uang untuk keluarga. Dia bekerja sebagai juru parkir sebuah minimarket di Jalan Batua Raya, Makassar. MFS memanfaatkan waktu sepulang sekolah untuk membantu keuangan keluarga. Dia berjaga sebagai juru parkir bersama sepupunya yang juga masih pelajar.
Kondisi lingkungan dan faktor ekonomi keluarga inilah, menurut Budhi, yang menjadi salah satu pemicu AR dan AF tega membunuh MFS. Di samping itu, keduanya terpapar oleh konten negatif di internet yang turut mempengaruhi perkembangan psikologi mereka. Dari konten negatif di internet, khususnya terkait penjualan organ, kedua tersangka merasa bisa menghasilkan uang dengan jalan yang mudah.
“Dari situ muncul niat jahatnya,” kata mantan Kasubdit V Dittipidter Bareskrim Polri ini. "Dia terlalu semangat untuk membuktikan kepada orang tuanya bahwa dia bisa dapat uang banyak."
Budhi menyimpulkan kasus ini bukan sekadar pembunuhan biasa. Ada sejumlah faktor lain yang jauh lebih luas terkait motif dan pemicu pembunuhan tersebut. Faktor psikologis, kata Budhi, mungkin menjadi salah satu pemicu utama terjadinya pembunuhan tersebut. Peran keluarga diduga paling berpengaruh terhadap kejiwaan kedua tersangka.
Dugaan ini muncul setelah tim penyidik Polrestabes Makassar melihat adanya kemungkinan gangguan kejiwaan pada tersangka AR. Sebabnya, saat diinterogasi penyidik terkait pembunuhan tersebut, wajah AR sama sekali tidak menunjukkan kesan merasa bersalah. Pemeriksaan psikologis pun tengah dilakukan untuk melihat kemungkinan gejala gangguan kejiwaan pada dua tersangka.
Rumah salah satu pelaku pembunuhan bocah 11 tahun di Makassar yang dihancurkan oleh amuk massa, Selasa (10/01/2023).
Foto : Agil Asrifalgi/detikSulsel
“Walaupun hasil belum keluar, kami lihat anak ini agak psikopat. Dia (AR) tidak menunjukkan penyesalan, tidak sedih juga. Yang kecil (AF) menyesal dan menangis terus,” terang Budhi.
Sosiolog Universitas Indonesia Devie Rahmawati memandang aksi keji yang dilakukan AR dan AF mungkin terjadi lantaran akumulasi sejumlah faktor. Faktor-faktor itu menyangkut paparan konten negatif, keluarga, ekonomi, dan lingkungan. Sejumlah persoalan ini pada akhirnya menghasilkan sebuah limbah sosial yang erat kaitannya dengan tindakan agresif atau aksi kriminal.
Dalam konteks konten negatif, Devie mengatakan, sebuah penelitian pada 1960-an menunjukkan bahwa layar kaca—sekarang internet—punya korelasi signifikan terhadap tindakan agresif anak. Penelitian itu kemudian dikembangkan pada medio 1990-an sehingga muncul istilah ‘The Killing Screen’, yang memperkuat hipotesis bahwa konten negatif di layar kaca dapat memicu terjadinya kekerasan. Padahal waktu itu, kata Devie, rata-rata orang menonton televisi hanya sekitar 3 jam per hari.
“Bayangkan, itu tahun 1996 baru nonton 3 jam saja perilaku agresifnya sudah luar biasa. Apalagi sekarang, dengan kondisi orang itu menonton 8 jam 8 menit,” tutur Devie saat berbincang dengan reporter detikX via telepon pada Kamis, 12 Januari lalu.
Merujuk pada konteks pembunuhan anak di Makassar, paparan konten negatif ini diperparah lagi oleh pola asuh orang tua yang cenderung cuek mengawasi konsumsi internet anak. Ditambah lagi, para tersangka juga kerap mendapatkan kekerasan verbal dari orang tua, yang menganggap keduanya sebagai beban keluarga. Belum lagi faktor lingkungan, yang juga turut berperan membangun karakter kedua pelaku.
Jika anak adalah kanvas putih, faktor-faktor yang demikian itulah yang dapat menggoreskan tinta untuk menjadikan anak sebagai lukisan yang indah atau buruk. Sayangnya, goresan yang indah ini tidak pernah didapatkan AR dan AF, baik dari keluarga maupun lingkungannya sendiri. Walhasil, keduanya tumbuh dengan karakter yang cenderung menormalkan tindakan agresif atau kejahatan lantaran sejak kecil sudah dekat dengan perilaku negatif dari orang tua maupun orang-orang di sekitarnya.
“Dia sudah melihat itu sebagai sesuatu yang normal. Menusuk atau mencelakakan anak orang lain sebagai sesuatu yang normal,” jelas pengajar program studi Hubungan Masyarakat Vokasi UI ini.
Baca Juga : Salah Kaprah Jual Beli Organ, Picu Pembunuhan
Psikolog anak Ratih Ibrahim menuturkan anak dalam konsep seorang filsuf asal Inggris, John Locke, adalah sebuah tabularasa alias kertas kosong. Mereka tumbuh dengan warna-warna yang tertoreh dari pengalaman hidup. Mereka belajar dari apa yang dilihat, dipegang, dan dialami. Jika mereka tumbuh di lingkungan yang baik, hasilnya juga akan baik.
“Kalau anak dibesarkan di lingkungan yang tidak kondusif, proses tumbuh kembang dan pembentukan kepribadiannya itu menjadi tidak optimal,” kata Ratih kepada reporter detikXpekan lalu.
Keluarga memegang peran penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak-anaknya. Jika anak-anak, kata Ratih, tumbuh di lingkungan keluarga yang kerap melakukan kekerasan, potensi anak memiliki karakter agresif semakin besar.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar anak bisa melahirkan manifestasi yang negatif saat mereka dewasa. Si anak, jelas Ratih, boleh jadi bakal memiliki trauma yang akan mempengaruhi kondisi mentalnya. Kondisi mental ini bakal berdampak pada perilaku anak pada kemudian hari. Anak bisa jadi seorang penakut, pemarah, pembenci, atau cenderung berperilaku agresif.
“Lalu bisa merujuk lagi ke gangguan kejiwaan yang lebih serius lagi,” pungkas Ratih.
Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban