Ilustrasi : Edi Wahyono
Pada hari Jumat terakhir tahun lalu, pemerintah secara mendadak mengumumkan telah mengundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Perppu tersebut merupakan respons pemerintah atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91 Tahun 2020. Bola panas kini dioper ke DPR RI untuk memastikan perppu dari Presiden Jokowi itu akan ditepis atau digolkan.
Pembahasan Perppu Ciptaker di DPR RI hanya persetujuan atau penolakan dan tidak dibahas rinci tiap pasalnya, walaupun pasal-pasal tersebut akan menjadi bahan pertimbangan.
Anggota DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ledia Hanifa mengatakan pemerintah seharusnya bisa memperbaiki proses pembentukan UU Ciptaker tanpa perlu menerbitkan Perppu. Ia berkaca pada proses berubahnya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang hanya memakan waktu seminggu di DPR RI.
"Itu saja bisa seminggu, walaupun kami juga menolak waktu itu. Sedangkan ini masih ada waktu sampai November 2023, harusnya masih bisa, toh inisiatif pemerintah," ujarnya kepada reporter detikX.
Massa buruh menggelar unjuk rasa didepan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (10/1/2023).
Foto : Agung Pambudhy/detikcom
Lalu ada pertanyaan, kenapa takut, kan pasti setuju-setuju saja, 82 persen koalisi pemerintah ada di DPR? Itu karena bukan hanya untuk menghindari DPR, tapi kegaduhannya itu, demo dan lain sebagainya."
Ledia menambahkan, keberadaan Perppu hanya upaya dari pemerintah untuk potong kompas. Hal itu karena DPR tidak akan membahas isi Perppu Ciptaker secara detail, melainkan hanya memutus menerima atau menolak aturan tersebut. Adapun pemerintah seharusnya dapat melakukan pembicaraan dengan DPR secara lebih serius.
Nantinya, ujar Ledia, Badan Musyawarah DPR akan menyerahkan pembahasan Perppu ke Badan Legislatif. Sebab, Perppu Ciptaker mencakup banyak bidang kerja dari beberapa Komisi di DPR. Jika Perppu ditolak, akan langsung tidak berlaku. Sebaliknya, jika diterima, Perppu akan langsung menjadi UU.
"Menurut kami, tidak perlu ada Perppu. PKS menolak perppu itu," tegasnya.
Senada dengan Ledia, Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR RI Hinca Panjaitan mengatakan pihaknya akan menolak Perppu Ciptaker tersebut. Menurut Hinca, penolakan itu berdasarkan beberapa pertimbangan.
Pertama, adanya Putusan MK di halaman 412 angka 3.19 telah secara tegas menyatakan: UU Ciptaker 11/2020 ini Cacat Formil. Proses pembentukannya tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945. Kedua, di halaman 413 sampai 414 angka 3.20.1, 3.20.2, 3.20.3, 3.20.4, dan amar putusan halaman 416 sampai 417 angka 3 dan 5. MK menegaskan kembali UU Ciptaker ini inkonstitusional secara bersyarat.
Untuk itu, lanjut Hinca, MK memberi kesempatan 2 tahun kepada pembentuk UU untuk memperbaikinya. Jika itu tidak dilakukan, UU Ciptaker akan inkonstitusional secara permanen dan aturan lama yang telah dicabut berlaku kembali agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Ketiga, ujar Hinca, putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2022 terkait UU Ciptaker ini diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim 3 November 2021 dan dibacakan pada 25 November 2021. Dengan itu, jatuh tempo 2 tahun masa perbaikannya hingga November 2023.
"Jika memiliki niat baik dengan waktu yang begitu lama ini, seharusnya pemerintah membawa kembali UU ini ke DPR untuk dibahas dan diperbaiki. Bukan malah mengeluarkan Perppu," kata anggota Komisi III DPR RI tersebut kepada reporter detikX.
Selain itu, menurut Hinca, dalam amar putusan MK angka 7 halaman 417 telah dengan tegas dinyatakan: agar menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Artinya, menurut Hinca, UU Ciptaker seharusnya diperbaiki kembali dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara lebih maksimal dan bermakna.
"Jika pemerintah sendiri tidak mematuhi putusan hukum, bagaimana rakyat diminta untuk patuh? Orang tidak puas disuruh gugat ke MK. Setelah MK memutuskan, malah tak dipatuhi," ujarnya.
Adapun unsur keadaan darurat, mendesak dan memaksa, juga dinilai tidak terpenuhi. Hal itu karena, menurut Partai Demokrat, Presiden dalam banyak kesempatan menyatakan keadaan negara baik-baik saja.
Anggota Fraksi Demokrat dari Komisi IX DPR RI, Aliyah Mustika Ilham, mengatakan terbitnya perppu tersebut tidak menyelesaikan persoalan perburuhan. Perppu tersebut justru masih mengandung persoalan yang selama ini banyak diprotes oleh kalangan buruh. Seperti upah minimum, aturan outsourcing, perjanjian kerja waktu tertentu, aturan pemutusan hubungan kerja, tenaga kerja asing, dan skema cuti.
"Dengan adanya perppu ini, kami akan menerima aspirasi dari kelompok pekerja terkait persoalan-persoalan tersebut," kata Aliyah kepada reporter detikX.
Sedangkan anggota Komisi III DPR RI dari Partai Gerindra Habiburokhman dan Sekretaris Fraksi PPP di DPR RI Achmad Baidowi menyebutkan masih menunggu hasil pembahasan pimpinan fraksi. Begitu juga anggota Komisi XI DPR RI dari Partai NasDem Irma Suryani Chaniago mengatakan akan menunggu penjelasan Kementerian Ketenagakerjaan di DPR RI terlebih dahulu.
Ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menganggap keberadaan Perppu sebagai upaya pemerintah menghindari pembahasan di DPR RI. Selain itu, pemerintah terkesan buru-buru menerbitkan Perppu pada tahun baru untuk menghindari kritik dari masyarakat.
"Lalu ada pertanyaan, kenapa takut, kan pasti setuju-setuju saja, 82 persen koalisi pemerintah ada di DPR? Itu karena bukan hanya untuk menghindari DPR, tapi kegaduhannya itu, demo dan lain sebagainya," kata Bivitri kepada reporter detikX.
Menurut Bivitri, jika memiliki niat serius, DPR RI dapat menolak perppu tersebut. Sebelumnya, DPR RI tercatat pernah menolak sejumlah Perppu, di antaranya Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, ada UU Nomor 11 Tahun 2015 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
Di sisi lain, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengimbau masyarakat tidak khawatir terhadap Perppu Ciptaker. Hal itu karena akan tetap ada political challenge terhadap perppu tersebut. Tantangan politik yang dimaksud berupa political review di DPR RI dan judicial review di MK.
Massa buruh dari berbagai elemen menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI. Aksi itu digelar untuk menolak omnibus law UU Cipta Kerja, Jumat (14/1/2022).
Foto : Grandyos Zafna/detikcom
Selain itu, menurut Hiariej, perppu tersebut dirasa perlu oleh pemerintah karena adanya krisis ekonomi yang nyata dihadapi. "Loh, yang bilang seperti itu (tidak ada krisis ekonomi serta kondisi yang mendesak dan darurat) kan belum tentu ngerti ekonomi, kan," kata Hiariej kepada reporter detikX.
Berseberangan dengan Hiariej, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman mengatakan tidak ada kondisi keekonomian yang mendesak untuk saat ini di Indonesia. Untuk itu, pemerintah dipandang tidak perlu mengeluarkan Perppu Ciptaker untuk menyikapi krisis ekonomi global. Menurut Rizal, masih ada strategi lain yang jauh lebih efektif, yaitu mengoptimalkan belanja fiskal untuk mendorong kinerja langsung terhadap ekonomi.
"Misalnya mendorong sektor pertanian dan sektor industri pengolahan produk untuk hiliriasinya, sektor pertambangan untuk smelter-nya, dan mengembangkan pasar domestik serta global untuk membangun global value chain di sektor hulu," jelas Rizal kepada reporter detikX.
Rizal memaparkan kondisi ekonomi makro di Indonesia masih cukup baik. Pertumbuhan ekonomi terus meningkat, bahkan di atas 5 persen. Kinerja ekspor Indonesia juga diprediksi masih tetap akan naik, dengan kenaikan yang lebih tinggi dibandingkan 2022 (YoY).
Artinya, ia menambahkan, tahun 2023, ekonomi nasional mempunyai kinerja yang tangguh dan pertumbuhan ekonominya optimistis di angka kisaran 4,8-5,2 persen. Namun, ia menduga, pemerintah menerapkan Perppu Ciptaker karena adanya kenaikan target realisasi investasi sebesar Rp 200 triliun dari target realisasi 2022, yaitu dari kisaran Rp 1.200 triliun menjadi Rp 1.400 triliun.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat menilai pemerintah dan DPR RI lamban dalam menyikapi putusan MK terkait UU Ciptaker. Menurutnya, justru dalam Perppu Ciptaker, masih terdapat pasal-pasal yang selama ini banyak digugat dan merugikan para kelas pekerja. Adapun perubahan yang dicantumkan tidak signifikan sehingga tidak menghilangkan substansi dari aturan-aturan yang bermasalah tersebut.
Selain itu, menurutnya, kalangan buruh tidak pernah diajak komunikasi oleh pemerintah terkait perppu tersebut. Padahal pemerintah seharusnya dapat menggunakan Lembaga Komunikasi Tripartit Nasional untuk menjalin komunikasi dengan para buruh.
"Ini barang udah jadi baru disosialisasikan," kata Mirah kepada reporter detikX.
Baca Juga : Tergesa-gesa Perppu Cipta Kerja
Sejumlah massa buruh gelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta. Aksi itu digelar untuk memantau jalannya putusan sidang MK terkait UU Cipta Kerja, Kamis (25/11/2021).
Foto : Rifkianto Nugroho/detikcom
Adapun sejumlah persoalan yang digugat para buruh masih sama. Pertama terkait keberadaan tenaga kerja asing (TKA) yang semakin dipermudah dengan adanya perppu tersebut. Lalu ada aturan yang mempersulit para buruh memperoleh status pekerja tetap. Batas status kontrak yang sebelumnya 3 tahun menjadi 5 tahun dan boleh terus diperpanjang.
Ditambah lagi, dengan adanya Perppu, semua sektor dapat menerapkan sistem outsourcing, yang sebelumnya dibatasi hanya di lima sektor. Selain itu, upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) juga dihilangkan. UMSK berfungsi membedakan gaji minimum antarsektor, misalnya sektor otomotif dengan pabrik pembuatan kerupuk.
"Masih banyak aturan yang bermasalah. Bahkan terkait libur dan cuti, itu tumpang tindih dan perusahaan cenderung pakai yang tidak menguntungkan buruh. Kami akan gelar demo untuk gugat perppu ini," ujarnya.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban