Spotlight

Jangan Tanya Kapan Punya Anak

Sepasang aktivis memutuskan untuk hidup bersama tanpa anak dengan pertimbangan yang matang. Bagi mereka, menjadi orang tua itu sulit dan tak ada sekolahnya.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Jumat, 6 Januari 2023

Pengalaman ditanyai kapan punya anak disertai dengan usapan tangan ke bagian perut masih melekat di ingatan Nisrina Nadhifah Rahman, 28 tahun. Bagi banyak orang, barangkali itu hal biasa, tapi tidak bagi sebagian orang, seperti Ninis. Dia tidak bisa menerima perlakuan tersebut.

“Agak kurang ajarlah,” kata Nisrina kepada reporter detikX pekan lalu. “Ini bukan cuma hanya soal pertanyaannya, tapi juga soal gesturnya.”

Kala itu, Ninis, sapaan akrabnya, sedang berada di acara keluarga besar suaminya, Wana Alamsyah, 30 tahun. Orang yang mengusap perut Ninis adalah tante Wana.

“Jangan karena sama-sama perempuan terus merasa bisa nyentuh-nyentuh semaunya. Jadi pada saat itu level tergangguku sudah maksimal,” kata dia.

Kaus khusus yang biasa digunakan Wana Alamsyah saat menghadiri acara yang melibatkan keluarga besar.
Foto : Istimewa


Mengurus diri sendiri saja sulit. Bahkan sama diri sendiri saja sering kali ragu. Masih bisa bernapas saja sudah bersyukur.”

Ninis pun memberi kode kepada Wana, tanda dirinya butuh pertolongan. Mengetahui kode itu, Wana mendekati Ninis dan menegur tantenya. “Sudah, sudah, jangan tanya-tanya lagi,” kata Wana kepada tantenya kala itu.

Ninis dan Wana baru menikah setahun lalu. Tidak ada yang tahu kecuali keluarga besar dan orang terdekatnya soal pilihan mereka untuk hidup bersama tanpa memiliki anak atau dikenal dengan istilah childfree.

Mereka paham kendala terbesar memilih hidup childfree memang berhadapan dengan pandangan umum bahwa setiap hubungan pernikahan harus memiliki anak. Itu sebab pertanyaan kapan akan punya anak kerap muncul dengan beragam cara, salah satunya seperti yang dilakukan tante Wana.

Kenyataan itulah yang membuat Ninis dan Wana membuat kode khusus untuk saling membantu ketika sudah merasa tidak nyaman. “Jadi kami memang sudah memprediksi itu. Kalau satu atau dua kali, kami masih maklumi. Tapi kalau sudah berlebihan, saya sepakat dengan Wana, tolong deh dibantuin,” kata Ninis. “Memang dibutuhkan kerja sama untuk menghadapi itu.”

Ninis bekerja di organisasi yang berfokus pada isu hak asasi manusia, sedangkan Wana di organisasi yang berfokus pada isu korupsi. Meski kerap berkompromi dengan pandangan umum yang menyinggung hal-hal privat, keduanya sesekali menunjukkan sikap politisnya kepada keluarga besar. Termasuk urusan tubuh dalam kaitannya dengan kepemilikan anak biologis.

Misalnya, Wana mengatakan, punya kaus khusus untuk acara-acara yang melibatkan keluarga besar. Kaus itu berwarna hitam. Di bagian depannya tertulis “jangan tanya: kapan nikah (?), kapan punya anak (?), udah kerja (!)”.

“Menurut gue, baju itu merepresentasikan political statement, ya,” kata Wana. “Itu pertanyaan-pertanyaan (di baju) sebenarnya pertanyaan umum di dalam keluarga, tetapi tidak semua orang nyaman mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti itu.”

Tak banyak pasangan childfree seperti Ninis dan Wana. Biasanya keputusan menjadi childfree akan sangat dipertanyakan keluarga inti. Itu sebabnya, pilihan tidak memiliki anak kerap disembunyikan dari orang tua. Namun tidak bagi Ninis dan Wana.

Sejak awal menikah, Ninis mengatakan pilihan menjalani hidup childfree tidak pernah dipermasalahkan keluarganya. Begitu juga Wana. Orang tua Ninis dan Wana menerima alasan dan menghargai pilihan mereka untuk tidak memiliki anak.

Praktis hanya pandangan umum dari keluarga jauh yang paling menjengkelkan mereka sebagai childfree. Keduanya juga merasa tidak perlu membuang waktu untuk menjelaskan panjang lebar alasan mereka childfree kepada orang-orang yang tidak terlalu dekat.

Pilihan Matang

Sebelum memutuskan menjalani hidup bersama sebagai pasangan menikah, Ninis dan Wana berpacaran empat tahun. Topik mengenai childfree sudah jadi pembicaraan mereka sejak itu.

Wana memandang keputusan memiliki atau tidak memiliki anak selayaknya bergantung pada istri. Sebab, hamil atau tidak adalah hak pemilik tubuh. “Gue tidak punya dan tidak akan pernah punya pengalaman hamil dan melahirkan. Jadi itu gue serahkan ke pasangan gue sepenuhnya,” kata dia.

Ninis menjelaskan keinginan tidak punya anak disebabkan oleh pengalaman traumatis masa kecil. Ninis adalah anak kedua dari dua bersaudari. Dia menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga yang dialami ibunya di dua pernikahan: pernikahan dengan ayah biologis Ninis dan pernikahan dengan ayah tirinya.

Trauma itu membekas dan mengiringi Ninis tumbuh dewasa. Dia mengelola pengalaman traumatis itu dengan berbagai cara, termasuk menerima berbagai informasi mengenai gender dan seksualitas. Dua isu tersebut menjadi bidang pekerjaannya sebagai seorang aktivis.

“Jadi menurutku, pilihan tidak memiliki anak bukanlah blind decision atau dipilih atas dasar tren, impulsivity, atau semacamnya,” kata dia, “tapi sudah dengan pertimbangan yang matang.”

Keputusan tidak memiliki anak bukan hanya karena itu. Ninis memandang, memiliki anak juga perlu mempersiapkan banyak hal, yaitu mental, waktu, dan finansial. Dia enggan menjadi orang tua yang tak bisa bertanggung jawab memenuhi hak-hak anak.

“Menjadi orang tua itu pekerjaan paling sulit. Tidak ada kuliahnya, tidak ada jenjang S1, S2, dan S3-nya,” kata Ninis.

Apalagi Ninis dan Wana bekerja di dunia aktivisme. Mereka bukan hanya sibuk dan membutuhkan banyak waktu, tetapi pada saat bersamaan juga memiliki risiko keselamatan yang besar karena kerap berhadapan dengan kekuasaan.

“Mengurus diri sendiri saja sulit. Bahkan sama diri sendiri saja sering kali ragu. Masih bisa bernapas saja sudah bersyukur,” kata Ninis. “Makin hari makin banyak tantangan. Negara, ya, kayak gini. Lingkungan secara juga semakin menantang.”

Selama ini memiliki anak dianggap sebuah keharusan karena untuk meramaikan keluarga, memberi keceriaan, atau meneruskan gagasan-gagasan terhadap dunia. Menurut Wana, itu tetap tidak bisa menjadi dasar untuk memiliki anak biologis. Baginya, lebih tepat dengan cara adopsi. Namun itu pun harus dengan pertimbangan dan persiapan yang matang.

“Menurut gue, adopsi adalah jalan terbaik ketika kita sudah siap untuk menjadi orang tua, ketika sudah bijaksana, sudah punya kestabilan emosi, ekonomi, dan lain-lain,” kata Wana.

Ilustrasi suami istri. 
Foto : Getty Images

“Kita tahu banyak anak-anak telantar, banyak anak-anak underprivileged, kenapa (jika siap menjadi orang tua) kita tidak mengadopsi dan mengurus anak-anak itu?” tambah Ninis. “Kayaknya kita bisa memberikan cinta kasih yang sama kepada mereka, seperti juga kita mencintai anak biologis kita.”

Untuk memastikan tidak akan menghasilkan keturunan, sebagian pasangan childfree menggunakan cara-cara medis, seperti mengkonsumsi pil KB hingga prosedur vasektomi. Ninis dan Wana tidak memilih cara tersebut sejauh ini. Mereka hanya memastikan, setiap hubungan intim suami-istri mereka lakukan dengan kesadaran untuk tidak menghasilkan anak.

Perihal masa tua, keduanya menilai memiliki anak bukanlah satu-satunya cara mempersiapkan masa tua. “Kami percaya ada banyak cara untuk itu, tidak hanya satu cara,” kata Wana.

Sementara itu, ada pandangan umum yang menganggap keputusan childfree adalah keputusan egois. Mereka yang memilih tidak memiliki anak dianggap hanya mementingkan diri sendiri. Bagi Ninis dan Wana, justru sebaliknya. Keputusan memiliki anaklah yang justru egosentris.

“Sampai saat ini kami belum mendapat alasan rasional untuk punya,” terang Ninis. “Kebanyakan, alasan memiliki anak adalah alasan egois, seperti untuk melanjutkan garis keturunan, meneruskan bisnis, atau untuk mengurus kita pada hari tua.”


Reporter: May Rahmadi
Penulis: May Rahmadi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE